Uzur yang Menghalangi untuk Menghadiri Shalat Jumat dari Fatwa an-Nawawi rahimahullah

Disebutkan dalam Fatwa Imam an-Nawawi, Seorang Tokoh Besar Madzhab Syafi’i (631–676 H / 1234 – 1278 M):
قال النووي في المجموع شرح المهذب (4/ 486) :
لَا تَجِبُ الْجُمُعَةُ عَلَى الْمَرِيضِ سَوَاءٌ فَاتَتْ الْجُمُعَةُ عَلَى أَهْلِ الْقَرْيَةِ بِتَخَلُّفِهِ لِنُقْصَانِ الْعَدَدِ أَمْ لَا لِحَدِيثِ طَارِقٍ وَغَيْرِهِ قَالَ الْبَنْدَنِيجِيُّ لَوْ تَكَلَّفَ الْمَرِيضُ الْمَشَقَّةَ وَحَضَرَ كَانَ أَفْضَلَ قَالَ أَصْحَابُنَا الْمَرَضُ الْمُسْقِطُ لِلْجُمُعَةِ هُوَ الَّذِي يَلْحَقُ صَاحِبَهُ بِقَصْدِ الْجُمُعَةِ مَشَقَّةٌ ظَاهِرَةٌ غَيْرُ مُحْتَمَلَةٍ قَالَ الْمُتَوَلِّي وَيَلْتَحِقُ بِالْمَرِيضِ فِي هَذَا مَنْ بِهِ اسهال كثير قال فان كان بحيث يَضْبِطُ نَفْسَهُ حَرُمَ عَلَيْهِ حُضُورُ الْجَمَاعَةِ لِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ تَلْوِيثُهُ الْمَسْجِدَ قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ فَهَذَا الْمَرَضُ الْمُسْقِطُ لِلْجُمُعَةِ أَخَفُّ مِنْ الْمَرَضِ الْمُسْقِطِ لِلْقِيَامِ فِي الْفَرِيضَةِ وَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِمَشَقَّةِ الْوَحَلِ وَالْمَطَرِ وَنَحْوِهِمَا.
“Shalat Jumat tidak wajib bagi orang sakit, baik ketidakhadirannya itu menyebabkan tidak terlaksananya sebuah shalat Jumat oleh penduduk suatu kampung karena faktor kurangnya jumlah jamaah (tidak memenuhi syarat), maupun tidak demikian kondisinya. Hal ini berdasarkan hadis Thariq dan yang selainnya. Al-Bandaniji berkata, “Andaikan orang yang sakit memaksakan diri untuk shalat Jumat maka lebih utama.”
Para ulama madzhab Syafi’i berkata, “Sakit yang dapat menggugurkan kewajiban shalat Jumat adalah sakit yang menyebabkan penderitanya mendapatkan kesusasahan yang nyata untuk menghadiri shalat Jumat yang tidak mungkin ditolerir lagi.”
Imam al-Mutawalli berkata, “Dalam hal ini, termasuk orang sakit (yakni yang tidak wajib shalat Jumat) adalah orang yang terkena diare berat. Jika dia merasa mampu menahan diarenya yang berat itu, maka tetap haram baginya untuk menghadiri shalat berjamaah di masjid, karena tidak ada jaminan masjid yang dia shalat padanya aman dari tercemari benda najis.”
Imam al-Haramain berkata, “Sakit yang dapat menggugurkan kewajiban shalat Jumat itu kondisinya lebih ringan daripada sakit yang menggugurkan kewajiban berdiri pada shalat fardhu. Sakit yang demikian teranggap sebagai uzur, layaknya uzur karena jalanan becek, hujan, dan semisalnya.” (Lihat al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 4/486)