Yang dibolehkan tidak puasa Ramadhan
Oleh Aufa Sunda Takhasus
Pembaca yang semoga diberkahi Allah, puasa Ramadhan adalah kewajiban. Namun agama kita yang penuh rahmat tidak memaksa berpuasa jika memang memiliki alasan syar’i. Berikut ini beberapa udzur syar’i seorang boleh meninggalkan puasa Ramadhan yang telah disimpulkan oleh para ulama.
- Sakit dan lemah karena tua renta
Boleh bagi seorang yang sakit dan tua renta untuk berbuka di siang hari Ramadhan, namun jika ia sudah sembuh, wajib baginya mengganti puasa yang telah ditinggalkan. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dalam beberapa hari yang ditentukan, maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” [QS. Al-Baqarah: 184]
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain.” [QS. Al-Baqarah: 185]
Sakit yang diberi dispensasi untuk meninggalkan puasa adalah sakit yang berat, yaitu apabila ia puasa akan berbahaya baginya. Adapun lemah karena tua renta diambil dari lanjutan surat al-Baqarah ayat 184,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.”
Dijelaskan oleh para ulama pakar tafsir orang yang berat menjalankannya adalah orang yang lemah karena tua renta dan sakit yang tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam tafsir al-Muyassar,
وَعَلَى الَذِينَ يَتَكَلَّفُونَ الصِيَامَ وَيَشُقُّ عَلَيْهِمْ مَشَقَّةٌ غَيْرُ مُحتَمِلَةٍ كَالشَيْخِ الكَبِيْرِ، والمَرِيْضِ الذِيْ لَا يُرْجَى شَفَاؤُه، فِدْيَةٌ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ يَفْطُرُهُ
“Dan barang siapa yang merasa terbebani untuk menjalankan puasa dan merasa berat kerena kepayahan yang tak dapat dipikul lagi, seperti orang tua renta dan sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, baginya membayar fidyah sesuai dengan hari ia berbuka.” (Tafsir muyassar surat al-Baqarah: 184)
Dipahami dari ayat di atas bahwa orang lemah karena tua renta atau sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya boleh baginya meninggalkan puasa dan menggantinya dengan membayar fidyah.
- Safar atau bepergian jauh
Dalil dari al-Qur’an yang menunjukan bolehnya seorang yang safar untuk berbuka telah disebutkan pada pembahasan di atas. Adapun dalil dari hadits adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jawaban dari sahabat yang bertanya,
أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ؟ وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ، فَقَالَ: «إِنْ شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ»
“Hamzah bin ‘Amr al-Aslamy bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apakah ketika aku safar harus berpuasa?’ -beliau adalah orang yang gemar berpuasa- Maka Nabi menjawab, ‘Jika kamu berkehendak, puasalah atau berbukalah.’” [HR. Al-Bukhari no. 1943]
Demikan pula perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikisahkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
«خَرَجَ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ، فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الكَدِيدَ، أَفْطَرَ»، فَأَفْطَرَ النَّاسُ،
“Nabi keluar menuju Makkah pada bulan Ramadhan, beliau terus berpuasa sampai daerah Kadiid. Kemudian di sana beliau berbuka, maka para sahabatpun ikut berbuka.”
قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: ” وَالكَدِيدُ: مَاءٌ بَيْنَ عُسْفَانَ وَقُدَيْدٍ “
Berkata Abu Abdillah (Imam al-Bukhari sendiri), “Kadiid adalah daerah perairan antara usfaan dan qudaid.” [HR. Al-Bukhari no. 1944]
Kriteria safar yang dibolehkan berbuka puasa
Namun safar yang dibolehkan berbuka adalah safar yang dibolehkan padanya shalat qashar atau jamak. Sebagaian ulama menjelasakan jarak perjalanan yang teranggap safar adalah sekitar 80 km[1], baik ditempuh dengan susah payah atau tidak, seperti naik kendaraan bermotor atau pesawat terbang.
Seorang yang safar boleh memilih berpuasa, puasanya tetap sah. Hal ini sebagaimana yang dikisahkan sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ، وَلاَ المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ
“Kami pernah melakukan safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang puasa.” [HR. Al-Bukhari no. 1947]
Dipahami dari hadits di atas bahwa para sahabat yang safar bersama Rasul ada yang berpuasa dan ada yang berbuka. Hanya saja apabila puasanya akan membuatnya berat bahkan menimbulkan mudarat, maka berbuka lebih baik, dalam rangka mengambil rukhsah. Tentu hal ini sebagaimana bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، فَقَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ: «لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ»
“Sahabat Jabir menuturkan, ‘Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan safar, kemudian beliau melihat orang berdesakan, ternyata ada seorang yang sedang dikerumuni.’ Melihat hal itu, Nabi bertanya, ‘Ada apa ini?’ Para sahabat menjawab, ‘Ia berpuasa.’ Nabipun bersabda, ‘Bukan termasuk kebaikan, puasa saat safar.’” [HR. Al-Bukhari no. 1946]
- Haidh dan nifas
Wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas wajib berbuka dan haram berpuasa. Jika ia memaksa berpuasa, puasanya tidak sah.
قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «أَلَيْسَ شَهَادَةُ المَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ» قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: «فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ» قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: «فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا»
“Para sahabiyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan kurangnya agama dan akal kami?’ Rasul menjawab, ‘Bukankah persaksian wanita setengah dari persaksian lelaki?’ Para sahabiyah menjawab, ‘Iya.’ Rasul melanjutkan, ‘Itulah kekurangan akalnya. Bukankah apabila wanita haid dan nifas, tidak shalat dan tidak puasa?’ Sahabiyah menjawab, ‘Benar.’ Rasul berkata, ‘Itulah kekurangan agamanya.” [HR. Al-Bukhari no. 34 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu]
- Khawatir bermudharat ketika hamil dan menyusui
Wanita hamil atau menyusui jika ia merasa khawatir terhadap dirinya atau ankanya, baik yang sedang dikandung atau yang disusui boleh baginya berbuka, tidak puasa. Hal ini berdasarakan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ الصِّيَامَ عَنِ الْمُسَافِرِ، وَشَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dan setengah shalat dari orang yang safar serta menggugurkan puasa dari orang yang hamil atau menyusui.” [HR. At-Tirmidzi no. 715 dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, shahih lihat misykatul mashabih (1/ 629)]
Kesimpulan
Kesimpulannya bahwa udzur syar’i yang dibolehkan seorang tidak berpuasa di bulan Ramadhan ada empat:
- Sakit dan tua rent
- Safar.
- Haid dan nifas.
- Khawatir muncul mudarat ketika hamil dan menyusui.
Demikian empat udzur syar’i yang membolehkan seorang meninggalkan puasa Ramadhan. InsyaAllah pembahasan berikutnya adalah pengganti puasa bagi empat jenis udzur di atas. Semoga dimudahkan dan semoga bermanfaat.
Disadur dari kitab al-Fiqhu al-Muyassar.
[1] Ulama berbeda pendapat dalam menentukan jarak safar, selain yang disebutkan di atas pendapat yang lainnya adalah sesuai kebiasaan masyarakat, apakah perjalanan tersebut terhitung safar ataukah bukan, pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah di dalam al-Fatawa al-Kubro (2/ 467).