Apakah Nazar Gugur dengan Sebab Murtad?

 

Penerjemah: Yunus Arifin, 1A Takmili

 

Pertanyaan:

Sebagian orang mengatakan bahwa, “Kemurtadan, bisa terjadi karena ucapan yang menyebabkan orang yang mengucapkannya murtad dari Islam seperti mencela agama.”

Ada juga yang mengatakan bahwa, “Orang yang murtad disebabkan ucapannya tersebut atau sebab lainnya, maka sia-sialah amalan yang telah ia kerjakan sebelum dia murtad seperti salat, puasa, zakat, dan lainnya, demikian juga nazar yang ia lakukan untuk dirinya.” Maka apakah wajib baginya untuk mengqadha’ (menunaikan) nazar yang telah lampau ataupun nazar yang telah batal dengan sebab kemurtadan tersebut?

Jika dia harus mengqadhanya, apakah ia menyempurnakannya dengan melakukan puasa berurutan pada hari-hari (puasa sebagai kaffarah atas nazar)nya?

Jawaban:

Telah lewat penjelasan tentang macam-macam kemurtadan. Bukan termasuk syarat kemurtadan, seseorang (harus) berkata, “Aku telah murtad dari agamaku.” Akan tetapi jika ia mengatakan demikian maka ucapannya itu termasuk kemurtadan.

Tidak wajib bagi orang yang murtad apabila ia kembali kepada (agama) islam untuk mengganti amalan yang telah ia tinggalkan di masa murtadnya, seperti shalat, puasa, zakat, dan selainnya.
Adapun amalan saleh yang telah ia kerjakan pada masa keislamannya sebelum murtad, tidak terhapus disebabkan kemurtadannya, apabila ia kembali kepada agama Islam, karena Allah mengaitkan hal tersebut dengan kematian di atas kekufuran. Sebagaimana Allah berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ

“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir.”

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَة

“Barang siapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat.”

Adapun nazarnya pada saat ia masih di atas islam, maka ia harus tetap melaksanakannya apabila berupa ketaatan, wajib banginya menunaikan nazarnya ketika sudah kembali kepada (agama) Islam. Demikian pula perkara yang menjadi tanggungannya berupa hak Allah atau hak hamba-Nya sebelum ia murtad, maka masih tetap ada (wajib untuk ditunaikan).

Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Sumber: Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyati wal Ifta, pertanyaan ketiga dari fatwa no. 7150

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.