Cikal-Bakal Perayaan Tahun Baru Masehi
Topik Utama 01 Mading at-Tibyan Edisi – 05 / Jumadal Ula 1443 H
Oleh Usamah Najib Lampung, Takhasus
Cikal-bakal perayaan tahun baru sebenarnya berawal sejak zaman Kekaisaran Romawi, tepatnya pada era pemerintahan Julius Caesar, meskipun saat itu masih terhitung masa Sebelum Masehi (SM).
Arthur M. Eckstein dalam buku Senate and General: Individual Decision-making and Roman Foreign Relations 264-194 B.C. (1987) menuliskan: Tahun 45 SM, tidak lama setelah dinobatkan sebagai kaisar, Julius Caesar memberlakukan penanggalan baru untuk menggantikan kalender tradisional yang sudah digunakan sejak abad ke-7 SM.
Julius Caesar dan Senat Romawi kemudian memutuskan tanggal 1 Januari sebagai hari pertama dalam kalender baru itu.
Istilah Januari sendiri berasal dari nama salah satu dewa dalam mitologi bangsa Romawi, yakni Dewa Janus.
Cikal-Bakal Perayaan Tahun Baru
Apa alasan terpilihnya nama Dewa Janus sebagai awal tahun baru dalam kalender baru Romawi yang ada saat ini? Dan bagaimana tradisi awal masyarakat Romawi dalam merayakan pergantian tahun?
Dalam buku mereka New Year’s Celebrations (2007), Dewa Janus memiliki dua wajah yang menghadap ke depan dan belakang. Dalam kepercayaan orang Romawi, mereka meyakini Janus sebagai dewa permulaan sekaligus dewa penjaga pintu masuk. Maka, sejak berlakunya kalender baru itu, setiap tengah malam jelang pergantian tahun (yakni 31 Desember, orang-orang Romawi menggelar perayaan untuk menghormati Dewa Janus.
Mereka membayangkan satu wajah Janus melihat ke tahun lama dan wajah lainnya menatap hari-hari ke depan di tahun baru. Sejak saat itulah orang-orang Romawi pun memulai tradisi dengan saling memberikan hadiah pada malam tahun baru.
Baca Juga: Thaun dalam Sejarah Peradaban Manusia
Menurut keyakinan mereka, akhir tahun lama dan awal tahun baru adalah saat yang tepat untuk memberikan hadiah bermakna. Biasanya berupa ranting dari pohon-pohon keramat, atau perak dan emas, yang melambangkan keberuntungan.
Beberapa jenis makanan mereka sajikan, terutama madu dan permen yang mereka anggap sebagai simbol kedamaian. Rumah dan lingkungan sekitar juga mereka hias dengan lampu berwarna-warni, dengan harapan satu tahun ke depan akan dapat mereka lalui dengan penuh dengan cahaya atau kecemerlangan dalam hidup.
Tidak lupa, sebagai wujud penghormatan kepada Dewa Janus, orang-orang Romawi mempersembahkan koin-koin emas dengan gambar dewa mereka itu. Harapannya, Dewa Janus akan selalu memberkati mereka dalam kehidupan setahun ke depan.
Cikal-Bakal Perumusan Tanggal 1 Januari
Penetapan tanggal 1 Januari sebagai awal tahun dalam kalender baru itu punya rumusan sendiri. Dalam menyusun penanggalan baru tersebut, Julius Caesar meminta bantuan seorang ahli astronomi dan matematika dari Alexandria (Iskandariyah) bernama Sosigenes.
Sosigenes menyarankan agar kalender baru dibuat dengan mengikuti perputaran matahari seperti yang sudah diterapkan oleh orang-orang Mesir Kuno, satu tahun hitungannya adalah 365 lebih seperempat hari.
Julius Caesar setuju dan menambahkan 67 hari pada 45 SM sehingga tahun 46 SM mulainya pada 1 Januari. Untuk menghindari kejanggalan dalam rumusan kalender baru itu, Julius Caesar menyarankan supaya ditambahkan satu hari pada bulan kedua (Februari) setiap empat tahun. Inilah asal-muasal tahun kabisat.
Penanggalan anyar ini kemudian dikenal dengan nama Kalender Julian, diambil dari nama Julius (Juli) Caesar. Saat Kalender Julian diterapkan memang belum memasuki tahun Masehi. Tahun Masehi dihitung sejak kelahiran Yesus (Isa Al-Masih) dari Nazaret yang mulai diadopsi di Eropa Barat pada abad ke-8 untuk menghitung tanggal Paskah berdasarkan tahun pendirian Roma.
Kalender Julian kemudian dimodifikasi menjadi Kalender Gregorian dan disetujui oleh pemimpin tertinggi umat Katolik di Vatikan, Paus Gregory XIII, pada 1582. Di tahun yang sama, Paus menetapkan 1 Januari sebagai tahun baru pertama. Sejak saat itu, setiap malam pergantian tahun kian dirayakan dengan meriah di seluruh belahan dunia.
Artikel Kami: Sejarah Peradaban Islam dari Tahun ke Tahun
Semuanya Berasal dari Kaum Kuffar
Demikianlah penjelasan tentang cikal-bakal perayaan Tahun Baru Masehi. Kesimpulannya, bahwa perayaan tahun baru merupakan ajaran yang murni buatan Bangsa Roma di atas keyakinan mereka terhadap dewa-dewa mereka. Tentunya itu semua adalah kesyirikan.
Dapat kita simpulkan juga dari keterangan di atas bahwa tahun baru adalah kebiasaan orang-orang kafir yang mengandung padanya berbagai jenis kemungkaran. Baik kaitannya dengan akidah maupun kemaksiatan syahwat.
Agama Islam sendiri memiliki prinsip dalam hal ini, yaitu al-Wala’ Wal Bara’. Sehingga seorang muslim yang jujur dalam keislamannya akan benci dengan perayaan-perayaan semacam ini. Karena konsekuensinya ia turut bangga dan mengikuti kebiasaan orang-orang kafir. Dalam sebuah hadis:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا، لَا تَشَبَّهُوا بِاليَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى
“Bukan termasuk golonganku orang yang menyerupai selain kami. Jangan kalian menyerupai ummat Yahudi ataupun Nasrani.” (HR. at-Tirmidzi. 2695, Imam Albani menghasankannya dalam Shahih al-Jami’ as-Saghir Wa Ziyadatuh no. 5434. Hal. 2/956)
Di samping penyerupaan kepada orang-orang kafir, perayaan tahun baru masehi juga berkonsekuensi meyakini dan rida ketika Allah subhanahu wa Ta’ala dipersekutukan dengan dewa-dewa mereka seperti Janus dan lainnya.
Allahul Musta’an….
Dari berbagai sumber, wallahu a’lam.