Dunia, fatamorgana yang menipu kita
Oleh Takmili 2A
Dunia, keindahanmu begitu tampak mempesona. Kenikmatanmu benar-benar telah menipu banyak manusia. Ku kejar dirimu, ingin ku genggam, ternyata hanyalah fatamorgana. Tampak dari kejauhan dirimu laksana air sejuk menyegarkan, setelah mendekat ternyata tak lebih hanyalah tanah kering kerontang.
Begitulah hakikat dunia, keindahan serta kenikmatannya telah terbukti mampu menaklukan milyaran jiwa anak Adam. Tak hanya kalangan mereka yang kurang akal saja, kaum berakalpun tunduk tak berdaya, bertekuk lutut di hadapannya.
Tak hanya manusia zaman sekarang, bahkan sejak zaman Nabi pertamapun telah berjatuhan korban yang tertipu olehnya. Hanya murni dengan rahmat Ar-Rahman kita bisa selamat. Tak terperdaya oleh pikatnya yang begitu menawan, menipu lagi mematikan.
Pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Harta dengan segala bentuk dan warnanya, indah serta menawan memang di mata manusia. Bahkan itulah tabiat fitrah yang digariskan untuk kita.
Allah Ta’ala berkata dalam surat al-Mulk:
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Agar Ia menguji kalian, siapakah di antara kalian yang paling baik amalannya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Benarkah anda ingin surga?
Pembaca yang semoga dirahmati Allah ‘Azza wa Jalla.
Jannah (surga) sebagai puncak akhir segala gelamour kenikmatan, taklah bisa digapai mudah begitu saja. “Saya sudah ber-Islam. Kata ‘ISLAM’ sudah masuk dalam KTP saya”. Tidak, tak cukup sampai di situ. Tapi perjuangan dan pengorbanan adalah sesuatu yang harus ditampakkan sebagai tanda bukti akan jujurnya keimanan.
Bagaimana tidak, Allah Ta’ala sang pemilik surga telah menyebut dan menentukan sesuatu yang bernilai sebagai barternya. Yaitu, jiwa raga dan harta kita.
Dalam surat at-Taubah ayat ke-111 Allah Ta’ala berkata:
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin jiwa raga dan harta mereka, dengan memberikan surga kepada mereka.”
Dalam kesempatan lain, hal tersebut benar-benar Allah Ta’ala tegaskan. Allah Ta’ala berkata dalam surat Ali Imran ayat ke-92:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
“Kamu tidak akan meraih al-Birr (kebaikan) sampai kamu berinfak dengan harta yang kamu cintai.”
Jadi, menginfakkan sebagian harta yang kita cintai merupakan sebuah tuntutan dalam Islam.
Ayat ke-92 surat Ali Imran ini, jatuhlah ia sebagai objek pembahasan materi kali ini .
Telisik kandungan ayat
Ayat ini merupakan himbauan dari Allah Ta’ala agar para hambaya menginfakkan hartanya di jalan-jalan kebaikan.
Secara tekstual dan tersurat, ternyata himbauan dalam ayat ini bukanlah sekedar himbauan biasa. Tapi himbauan yang mengandung unsur tahdid (penekanan). Persis seperti kandungan dari ayat ke-3 surat al-Ma’un:
وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Dan (pendusta Agama tersebut) tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.”
Makna Al–birr
Kata Al-Birr dalam ayat tersebut berarti surga. Inilah tafsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu sang pakar tafsir, kemudian Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Mujahid dan alim ulama lainnya rahimahumullah.
Ada ulama lain yang menafsirkan Al-Birr dengan (amal kebaikan). Yang lain lagi menafsirkan (Al-Birr) dengan akhlak yang baik kepada Allah Ta’ala -kala beribadah kepadanya-, serta akhlak yang baik saat bermuamalah kepada makhluk-makhluknya.
Dua tafsir terakhir ini pun pada akhirnya berujung kepada tafsir jannah (surga).
Inilah yang dinamakan khilaf tanawwu dalam dunia tafsir, yaitu masing-masing dari tafsir tersebut saling melengkapi.
Sedekah yang paling bernilai
Dalam kaca mata syariat, ternyata nilai sedekah yang didonasikan seorang hamba tak bisa ditimbang sama dengan daun timbangan saja.
Adakalanya sedekah tersebut memiliki nilai ganda, bahkan pahalanya berlipat-lipat dibanding sedekah sebelumnya. Padahal kuantitasnya tidak berbeda sama sekali. Akan menjadi berbeda berdasarkan 3 sisi penilaian:
- Besarnya kebutuhan
Berbanding dengan besarnya kebutuhan penyedekah terhadap harta tersebut, maka sebesar itu pulalah ganjaran yang dia dapatkan.
- Harta paling berharga
Untuk sisi ini, kondisi masing-masing hamba berbeda satu sama lain.
Misalkan ada Sebuah tanah warisan yang luasnya satu hektar. Disedekahkan oleh seseorang, karena belum ada tempat yang bisa digunakan untuk shalat oleh masyarakat di desa. Padahal tanah ini merupakan satu-satunya harta paling berharga dari semua yang ia miliki.
Lain halnya dengan orang ke-2, ia memiliki tanah berhektar-hektar di berbagai tempat. sampaipun di ujung negeri ia punya. Kemudian ia sedekahkan satu dari ribuan hektar yang ia miliki.
Apakan sama bobot pahala yang didapat dari masing-masing hamba tersebut? Jawabannya jelas tidak. Tidak sama sekali. Karena kerelaan yang dikorbankan dua hamba tersebut juga jelas berbeda.
- Kondisi fisik yang sehat
Terlebih lagi jika penyedekah menyedekhkan hartanya di saat ia sehat. Yang mana ia mampu untuk mengembangkan tanah tersebut. Masa sakit, lemah, tua, dan kondisi memperihatinkan lainnya belum menghampiri. Benar-benar mahabbatullah (kecintaannya kepada Allah Ta’ala) yang menjadi motifasi di balik sedekahnya. Maka pahala yang ia raih kala itu menjadi besar di atas besar.
Lebih menjadi besar lagi ketika tanah tersebut ia sedekahkan pada momen istimewa dalam syariat ini. Seperti empat bulan Haram (Dzul Qa’dah, Dzul hijjah, Muharram, dan Rajab) dan kesempatan-kesempatan lainnya.
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
“Pada hal seperti inilah, hendaknya para hamba berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifin: 26)
Wallahu a’lam bis shawab, wal ‘ilmu ‘indallah (Allah Ta’ala lebih mengetahui yang benar, dan ilmunya hanya di sisi-Nya)