Gemuruh Takbir Para Santri Shaghir

Oleh Tim Reportase Santri
Di sepuluh hari pertama bulan Zulhijah ini, ada satu sunnah yang patut kita amalkan. Yaitu takbir muthlaq. Sebagaimana kata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ
“Dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28)
Kata beliau: “Yaitu pada sepuluh hari pertama (bulan Zulhijah).” Sedangkan ‘al-Ayyam al-Ma’dudat’ pada perkataan Allah:
وَاذْكُرُوا اللّٰهَ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْدُوْدٰتٍ
“Dan berzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya.” (QS. Al-Baqarah: 203)
Kata beliau: “Yaitu hari tasyrik.”
Dahulu Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhum pergi ke pasar sambil bertakbir, manusia pun bertakbir meniru keduanya. (HR. Al-Bukhari)
Pejuang Sunnah Cilik
Para santri tak ketinggalan untuk mengamalkan sunnah ini. Mereka berusaha untuk mengamalkannya kapan pun, karena memang takbir muthlak ini tak terikat waktu.
Ketika sedang bertugas di maqshaf, seorang santri bertakbir. Walaupun ia sedang merapikan barang dan melayani pesanan, lisannya tak lupa untuk bertakbir mengingat Allah. Beberapa temannya pun menirunya.
Begitu pula saat menunggu pelajaran. Ketika sang ustaz belum datang, terdengar takbir dari sebagian santri. Waktu kosong semisal ini pun mereka gunakan untuk bertakbir dan mengamalkan sunnah. Begitu pula sepulang dari masjid, ketika hendak makan, dan lain sebagainya.
Yang tak kalah menakjubkan, di pagi hari ketika jam pelajaran, para santri Takhasus sedang menunggu kedatangan ustaznya. Tiba-tiba terdengar di belakang sakan mereka, gemuruh suara takbir dengan nada cempreng. Suaranya itu berjalan dari arah timur ke barat.
Ternyata mereka adalah para santri baru lembaga MTA, yang baru menjalani orientasi selama seminggu. Sambil berkeliling lingkungan hendak melakukan permainan, mereka ramai bertakbir masing-masing. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Santri Takhasus yang mendengarnya merasa takjub, “Masya Allah.”
“Laa ilaha Illallahu, Allahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahil Hamd.” Mereka teus melantunkan bacaan takbir masing-masing, sambil terus berjalan menuju tempat permainan. Salah seorang ustaz memandu mereka sambil juga bertakbir sendiri.
Nikmatnya Lingkungan yang Baik
Demikianlah nikmat yang patut kita syukuri, ketika kita tinggal di lingkungan sunnah. Orang-orang di sekitar kita selalu mendukung untuk mengamalkan sunnah. Ketika kita lupa, mereka mengingatkan. Ketika kita tidak ingat, mereka mencontohkan, sehingga kita langsung teringat dan menirunya. Sebagaimana hal ini juga tergambarkan pada kisah Ibnu Umar dan Abu Hurairah di awal tadi.
Tidak ada rasa gengsi dan minder untuk mengamalkan sunnah, karena orang di sekitar kita juga mengamalkan hal yang sama. Berbeda keadaannya ketika kita berada di lingkungan yang jauh dari sunnah.
Maka mari kita syukuri nikmat ini dengan sebaik-baiknya, karena kalau tidak ia akan hilang.
Menjadi Orang Pertama
Dari kisah Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhum di awal tadi, kita juga mendapat faedah tentang mencontohkan perbuatan baik, yang dengan itu manusia akan mengikutinya. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِه مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِم شَيْء
“Barangsiapa mencontohkan suatu kebaikan dalam Islam, maka dia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sama sekali.” (HR. Muslim)
Kata asy-Syaikh al-Utsaimin ketika menjelaskan hadis di atas: “Termasuk mencontohkan kebaikan adalah ketika seorang menjadi yang pertama mengamalkannya. Seperti kisah sahabat yang pertama melakukan sedekah, sampai akhirnya sahabat lain mengikuti dan meniru perbuatannya.” (Syarh Riyadhus-Shalihin)
Maka di hari-hari ini, mari kita amalkan sunnah takbir. Semoga orang lain mengikuti kita, dan akhirnya kita mendapat pahala mereka juga.