Hakekat Tawakal kepada Allah

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin di dalam Syarah al-‘Aqidah al-Washithiyyah berkata pada firman Allah subhanahu wa ta’ala:

{وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لا يَمُوتُ}

“Bertawakallah kamu (Wahai Muhammad) kepada Dzat yang Maha Hidup dan tidak akan mati.” (QS. al-Furqan: 58)

{Dan bertawakallah} Tawakkal diambil dari kata ( وكل الشيء إلى غيره) mewakilkan sesuatu kepada orang lain, yaitu menyerahkannya. Maka bertawakkal kepada orang lain bermakna menyerahkannya kepada orang lain.

Sebagian ulama mendefinisikan tawakkal kepada Allah Ta’ala adalah jujur dalam menyandarkan diri kepada Allah Ta’ala demi menggapai kemanfaatan dan mencegah dari kejelekan, dengan keyakinan kuat dalam penyandaran diri tersebut kepada Allah subhanahu wa ta’ala serta menempuh sebab-sebab yang dibenarkan.

Makna jujur dalam menyandarkan diri kepada Allah Ta’ala adalah engkau menyandarkan urusanmu kepada Allah dengan sejujurnya, yakni engkau tidak meminta kecuali kepada Allah saja, begitupula dalam hal meminta pertolongan, engkau tidak memintanya kecuali hanya kepada Allah, engkau tidak berharap kecuali kepada-Nya, tidak takut kecuali kepada-Nya. Oleh karenanya engkau bersandar kepada Allah saja dalam rangka menggapai kemanfaatan dan mencegak mudharat. serta tidak cukup hanya sebatas penyandaran saja tanpa adanya keyakinan kuat yang disertai dengan menempuh sebab yang diizinkan (oleh Allah Ta’ala). Yaitu engkau yakin tanpa keraguan, dan menempuh sebab yang diizinkan.

Barangsiapa yamg tidak bertawakkal kepada Allah dan hanya bersandar kepada kekuatannya saja maka ia adalah seorang yang ditelantarkan. Dalilnya sebagaimana yang terjadi pada para sahabat saat bersama nabi shallahu’alaihi wa sallam di perang Hunain, yang Allah ceritakan tentangnya,

{لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ}

“Sesungguhnya Allah telah menolong kalian (wahai para mukminin) di medan peperangan yang banyak. Dan (ingatlah) peristiwa di peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu merasa bangga karena banyaknya jumlah(mu).”

Di kala mereka mengatakan saat itu, sungguh pasti kita tidak aka dikalahkan hari ini, karena pasukan kita yang tidak sedikit. Saat itu Allah menegur mereka,

{فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُوداً لَمْ تَرَوْهَا} [التوبة: 25 – 26].

“Padahal jumlah yang banyak itu sedikitpun tidak memberi manfaat kepadamu. Sehingga bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.”

Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah Ta’ala, namun tidak menempuh sebab yang Allah Ta’ala izinkan, maka ia tidak jujur (di dalam tawakkalnya). Bahkan tidak menempuh sebab merupakan kebodohan akal dan kekurangan di dalam beragama, karena hal itu merupakan celaan nyata terhadap hikmah Allah Ta’ala.

Bertawakal kepada Allah Subhanhu Wa Ta’ala merupakan setengah bagian di dalam beragama, sebagaimana Allah Ta’ala berkata:

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

“(Katakanlah) hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan.” (QS. al-Fatihah: 5)

Dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala merupakan buah dari tawakkal, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkata,

{فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ}

“Maka beribadah dan bertawakkal lah kepada-Nya (Allah).” (QS. Hud: 123)

Oleh karena itu, seorang yang bertawakkal kepada selain Allah Ta’ala tidak lepas dari tiga keadaan:

Keadaan pertama: Ia bertawakkal (kepada selain Allah Ta’ala) dengan penyandaran diri yang disertai bentuk ibadah, maka ini merupakan syirik besar, seperti siapa yang meyakini bahwa orang yang ia jadikan sebagai sandaran ialah orang yang memberikan kepadanya seluruh kebaikan dan mencegahnya darinya seluruh kejelekan. Maka ia serahkan urusannya kepada orang tersebut dengan penyerahan total demi menggapai berbagi manfaat dan mencegah dari berbagai kejelekan dengan disertai rasa takut serta harap, dan tidak ada bedanya, baik orang yang diserahi tersebut masih hidup ataupun sudah mati, karena penyerahan terebut tidak dibenarkan kecuali hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Keadaan kedua: Ia bertawakkal kepada selain Allah dalam bentuk penyandaran. Akan tetapi dia meyakini penyandaran tersebut hanyalah sebab, dan urusannya dikembalikan kepada Allah Ta’ala, seperti tawakkalnya kebanyakan manusia terhadap raja-raja dan para pemimpin mereka dalam hal meraup penghasilan tunjangan hidup mereka. maka yang demikian merupakan jenis syirik kecil.

Keadaan ketiga: Ia menyerahkan urusannya kepada orang yang ia jadikan sebagai pengganti dirinya, dalam keadaan ia lebih berwenang (pada urusan tersebut) dari si pengganti. Seperti penyerahan seseorang di dalam mewakilkan jual beli dan semisalnya pada urusan yang memungkinkan adanya perwakilan. Maka hal ini dibolehkan serta tidak menafikan tawakkal kepada Allah Ta’ala. Dan dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun pernah menyerahkan urusan jual beli dan semisalnya kepada para sahabatnya.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.