Kisah Ibnu Abbas dan kaum teroris khawarij
Oleh Abu Abdillah Anton Purbalingga
Pada awalnya, khawarij muncul dalam bentuk pemikiran. Kemudian setelah itu, dilanjutkan dengan adanya tindakan-tindakan provokasi dan teror, serta pembunuhan-pembunuhan pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, yang berujung pada terbunuhnya beliau dan para pejabatnya.
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, khawarij (para teroris) muncul dalam bentuk kekuatan yang cukup besar, mereka hendak melakukan pemberontakan terhadap Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Para sahabat bukan kaum teroris
Pada masa itu, para sahabat radhiyallahu ‘anhum masih banyak yang hidup, namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang mendukung ataupun bergabung dengan kelompok khawarij. Di antara para sahabat yang masih hidup pada masa itu adalah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang sering mendampingi Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib sebagai penasehat dalam penentuan kebijakan-kebijakan pemerintahannya.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan ketika khawarij memisahkan diri dan menempati suatu daerah, ketika itu jumlah mereka 6.000 orang.[1] Mereka semua sepakat untuk melakukan pemberontakan kepada pemerintahan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Beberapa sahabat Nabi terus datang kepada ‘Ali sambil berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya kelompok ini akan melakukan pemberontakan kepada engkau.” Maka ‘Ali berkata, “Biarkan mereka, karena aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka dulu yang memerangiku dan mereka akan tahu akibatnya nanti.”
Ibnu ‘Abbas izin ke pemerintah
Maka suatu hari aku (Ibnu ‘Abbas) menemui ‘Ali di waktu shalat dhuhur dan kukatakan kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, segerakanlah shalat. Aku ingin mendatangi dan berdialog dengan mereka (khawarij).”
Maka ‘Ali berkata, “Aku mengkhawatirkan keselamatan dirimu.” Aku katakan, “Jangan khawatir, aku seorang yang berbudi baik dan tidak menyakiti seorang pun.” Maka beliau akhirnya mengizinkanku.
Ciri-ciri kaum teroris
Kemudian aku (Ibnu ‘Abbas) memakai kain yang bagus buatan Yaman dan menyisir (rapi rambutku). Kemudian aku temui mereka di tengah hari. Ternyata aku memasuki suatu kaum yang belum pernah aku lihat hebatnya mereka dalam beribadah. Dahi mereka menghitam karena sujud. Tangan-tangan mereka kasar seperti lutut onta. Mereka memakai gamis yang murah dalam keadaan tersingsing. Wajah mereka pucat karena banyak beribadah di waktu malam.
Kejahilan kaum teroris, tidak menjawab salam
Kemudian aku (Ibnu ‘Abbas) ucapkan salam kepada mereka. Maka mereka berkata, “Selamat datang Wahai Ibnu ‘Abbas, ada apakah kiranya?”
Prinsip penting membantah kaum teroris
Maka aku katakan kepada mereka, “Aku datang dari sisi kaum muhajirin dan anshar serta dari sisi menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni ‘Ali bin Abi Thalib). Kepada mereka al-Qur’an turun dan mereka lebih tahu tentang tafsirnya daripada kalian.”
Maka sebagian mereka berkata, “Jangan kalian berdebat dengan orang Quraisy, karena Allah telah berfirman,
بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka berdebat.” [QS. Az-Zukhruf: 58]
Namun ada tiga orang dari mereka yang berkata, “Kami akan tetap berdialog dengannya.” Maka aku katakan kepada mereka, “Keluarkan apa yang membuat kalian benci kepada menantu Rasulullah, muhajirin, dan anshar. Yang kepada merekalah al-Qur’an turun. Dan tidak ada seorangpun dari mereka yang ikut bersama kelompok kalian. Mereka adalah orang yang lebih tahu tentang tafsir al-Qur’an.”
Syubhat dan pokok ideologi kaum teroris
Kaum teroris berkata kepada ‘Ibnu Abbas, “Ada tiga hal.” Aku (Ibnu ‘Abbas) berkata, “Sebutkan!” Mereka berkata, “Pertama, Dia (‘Ali) berhukum kepada manusia dalam perkara agama Allah, sedangkan Allah telah berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Sesungguhnya hukum hanya milik Allah.” [QS. Al-An’am: 57]
Maka apa gunanya keberadaan orang-orang (para hakim) itu kalau Allah sendiri telah memutuskan hukumnya?!” Aku berkata, “Ini yang pertama, kemudian apa lagi?”
Mereka berkata, “Kedua, Dia (‘Ali) telah berperang dan membunuh, tapi mengapa dia tidak mau menjadikan wanita mereka sebagai tawanan perang dan mengambil hartanya sebagai rampasan? Jika mereka (orang-orang yang diperangi ‘Ali, pent) memang masih tergolong kaum muslimin, mengapa dia (‘Ali) membolehkan kita untuk memerangi dan membunuh mereka, namun dia melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai tawanan?”[2]
Aku berkata, “Apa yang ketiga?” Mereka berkata, “Ketiga, ‘Ali telah menghapus dari dirinya gelar Amirul Mukminin (pemimpin kaum mukminin), maka kalau dia bukan Amirul Mukminin berarti dia adalah amirul kafirin (pimpinan orang-orang kafir).”
Bantahan terhadap syubhat kaum teroris
Aku berkata, “Apakah ada selain ini lagi?” Mereka menjawab, “Cukup ini saja.” Aku berkata kepada mereka, “Adapun ucapan kalian tadi: “Dia berhukum kepada manusia dalam memutuskan hukum Allah,” akan aku bacakan kepada kalian ayat yang membantah argumen kalian. Jika argumen kalian telah gugur apakah kalian akan ruju’?”
Mereka berkata, “Tentu.” Aku berkata, “Sesungguhnya Allah sendiri telah menyerahkan hukumnya kepada beberapa orang tentang seperempat dirham harga kelinci, dalam ayat-Nya,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan ketika kalian sedang berihram (berhaji). Barangsiapa ada di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, sesuai dengan apa yang diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian.” [QS. Al-Maidah: 95]
Dan juga tentang seorang isteri dengan suaminya,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
“Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan.” [QS. An-Nisa: 35]
Maka aku sumpah kalian dengan nama Allah, manakah yang lebih baik kalau mereka[3] berhukum dengan manusia untuk memperbaiki hubungan antara mereka dan untuk menahan darah mereka agar tidak tertumpah, ataukah yang lebih utama berhukum pada manusia dalam perkara harga seekor kelinci dan seorang wanita? Manakah di antara keduanya yang lebih utama?”
Mereka (khawarij) menjawab, “Tentu yang pertama.” Aku berkata, “Apakah kalian keluar dari kesalahan ini?” Mereka berkata, “Baiklah.”
Aku (Ibnu ‘Abbas) berkata, “Adapun ucapan kalian, “Dia (‘Ali) tidak mau mengambil musuhnya sebagai tawanan dan ghonimah (rampasan perang).” Apakah kalian akan menawan ibu kalian ‘Aisyah? Demi Allah, kalau kalian berkata: ‘Dia bukan ibu kami’, berarti kalian telah keluar dari Islam. Dan demi Allah, kalau kalian berkata : ‘Kami tetap akan menawannya dan menghalalkannya untuk dinikahi seperti wanita lain, berarti kalian telah keluar dari Islam. Maka kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah telah berfirman,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu lebih utama atas orang-orang mukmin dari diri-diri mereka sendiri, dan isteri-isteri beliau[4] adalah ibu-ibu mereka.” [QS. Al-Ahzab: 6]
Maka apakah kalian keluar dari kesalahan ini?” Mereka berkata, “Baiklah.”
Aku (Ibnu ‘Abbas) berkata, “Adapun ucapan kalian, “Dia telah menghapus dari dirinya gelar Amirul Mukminin.” Aku akan membuat contoh dengan orang yang kalian ridhoi, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada perjanjian al-Hudaibiyyah, beliau berdamai dengan kaum musyrikin, Abu Sufyan bin Harb dan Suhail bin ‘Amr.
Beliau (Rasulullah) berkata kepada ‘Ali: ‘Tulis untuk mereka sebuah teks yang berbunyi: “Ini apa yang disepakati oleh Muhammad Rasulullah”. Maka kaum musyrikin berkata: ‘Demi Allah, kalau kami mengakuimu sebagai Rasulullah, untuk apa kami memerangimu?!” Maka beliau (Rasulullah) berkata : ‘Ya Allah, engkau yang lebih tahu bahwa aku adalah rasul-Mu. Hapuslah kata (Rasulullah) ini, wahai ‘Ali.”
Dan tulislah: “Ini yang disepakati oleh Muhammad bin Abdillah.” Maka demi Allah tentu Rasulullah lebih baik dari ‘Ali, tapi beliau sendiri menghapus gelar (kerasulan) itu dari dirinya pada hari itu.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Maka bertaubatlah 2.000 orang dari mereka, dan selebihnya bersikukuh untuk tetap memberontak (terhadap pemerintahan ‘Ali), maka merekapun akhirnya dibunuh.” [lihat Talbis Iblis 116-119]
Faedah kisah
Dari kisah tersebut nampak bagi kita semua bagaimana para ulama dengan penuh ketenangan dan ilmiah menyikapi kondisi zamannya. Dengan kepala dingin dan tidak terburu-buru di dalam menilai dan memutuskan suatu perkara. Mereka adalah orang-orang yang selalu berpegang dan berjalan di atas dalil-dalil syar’i.
Mereka memahami dalil-dalil syar’i dari al-Qur’an dan as-Sunnah secara detail dan mendalam, menghubungkan satu ayat dengan ayat yang lainnya, menghubungkan hadits yang satu dengan hadits yang lainnya, menghubungkan ayat Al-Qur’an dengan hadits, mengkaitkan satu peristiwa dengan peristiwa yang lainnya untuk kemudian menghubungkan dengan nash-nash syar’i.
Berbeda tentunya dengan kondisi kelompok pemberontak khawarij, yang menilai dan menyikapi kondisi yang terjadi pada masa itu dengan penuh kejahilan dan emosi. Tidak didapati di tengah-tengah mereka seorang ulama pun. Yang ada hanyalah sekelompok orang yang cenderung bersikap emosional.
Dan ternyata kalau kita lihat kondisi para teroris (neo-khawarij) di masa ini, dengan Usamah bin Laden serta tokoh-tokohnya yang lain, sama kondisinya dengan kelompok khawarij yang dihadapi oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Mereka adalah sekelompok kaum muda yang jauh dari bimbingan para ulama dan cenderung bersikap emosional dan tidak ilmiah di dalam menghukumi dan menyikapi realita umat. Pemahaman mereka terhadap nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah adalah pemahaman yang sempit dan dangkal. Tidak ada kemampuan pada mereka untuk mengkaitkan ayat yang satu dengan yang lainnya, hadits yang satu dengan yang lainnya, atau menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.
Sebagai akibatnya muncullah tindakan-tindakan pengkafiran terhadap kaum muslimin dan terhadap pemerintah-pemerintah muslimin, yang berujung pada tindakan teror dan pemberontakan. Wallahu ‘alam
Sumber: Buku MEREKA ADALAH TERORIS, karya Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh, cet. ke-1, hal. 514-520, dengan beberapa perubahan dan penyesuaian.
[1] Disebutkan dalam riwayat hadits Abdullah bin Syaddad bahwa jumlah mereka mencapai 8.000 orang. Dan yang kembali bertaubat mencapai 4.000 orang. Ini diriwayatkan oleh al-Hakim (II/152-154), al-Baihaqi (VIII/179), Ahmad (I/86-87), dan juga Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah (VII/280), dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ hadits no. 2459.
[2] Perang yang dimaksud di sini adalah ketika Ali radhiyallahu ‘anhu berperang melawan Aisyah radhiyallahu ‘anha dan para pengikutnya pada peristiwa Perang Jamal.
[3] Yakni pihak Ali bin Abi Thalib dan yang berselisih dengannya.
[4] Yakni istri-istri Rasulullah sepeninggal beliau sebagai Ummahatul Mukminin (ibu-ibu kaum mukminin) yang tidak boleh dinikahi apalagi dijadikan budak tawanan perang.