Memulai rihlah suci thalabul ilmi
Oleh Muhammad Probolinggo Takmili
Segala puji bagi Allah yang masih memberikan berbagai kenikmatan-Nya kepada kita semua, di antaranya adalah nikmat manisnya cahaya tholabul ‘ilmi walau di tengah-tengah wabah yang melanda dunia ini. Tidak banyak orang yang bisa merasakan nikmat yang besar ini. Nikmat yang bernilai seperti jihad di jalan Allah, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من خرج في طلب العلم فهو في سبيل الله حتي يرجع
“Barangsiapa yang keluar dalam rangka menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai dia kembali.”
Rihlah suci yang kumulai kembali
Hari sabtu, tepatnya pada tanggal 5 Ramadhan 1442 H, di situlah perjalanan dalam menunut ilmu kumulai kembali. Setelah masa panjangnya liburan, tepat pada hari inilah kumulai kembali kehidupan baruku di pondok yang pertama kali kudatangi yang terletak di daerah Lumajang. Aku tempuh dalam waktu 2 jam lebih dari halaman rumahku.
Mengenai perjalanan, alhamdulillah ada teman satu desa dan satu pondokku memilki niatan dan tujuan yang sama denganku. Oleh karena itu, kami berangkat bersama menggunakan alat tranportasi miliknya bersama keluarganya dan ayahku. Kami berangkat kurang lebih pukul 09:30 WIB dan tiba di area pondok ketika adzan dzuhur. Ketika kami tiba, kami langsung melaksanakan shalat dzuhur dan ashar dengan dijamak di ruangan kami.
Selepas melaksanakan shalat, keluarga kami berpamitan dengan kami berdua. Setelah mereka pulang, kamipun kembali ketempat kami, dan alhamdulillah dengan takdir Allah Ta’ala kami berdua ditempatkan dalam satu ruangan.
Cerita saat menjalani orientasi
Di tempat kami, terdapat enam ruangan untuk orientasi. Kami berbincang-bincang hingga kami tertidur sembari melepas penat yang kami alami ketika di perjalanan, sekaligus menunggu teman yang juga satu pondok dengan kami. Tepat pada siang harinya, akupun terbangun mendengar suara temanku yang terlalu semangat mencari kami.
Hingga tiba sore hari, kami bertiga berbincang-bincang di ruangannya. Di dalam ruangannya, terdapat santri asal Sulawesi. Kamipun berbincang dengannya, menemani, dan menghiburnya. Inilah awal kisah kami dalam mencari ilmu di Ma’had Darul Ilmi Lumajang.
Hari demi hari, kami lalui di Mahad Darul Ilmi. Hingga tepat pada hari senin, tanggal 7 Ramadhan, di hari inilah kami mulai membagi waktu kami. Tepat pukul 8 pagi, kami memulai kembali menggoreskan pena-pena kami di atas kertas sampai pukul 10 pagi.
Membagi waktu hingga pergi berlalu
Kami lalui hari-hari kami dengan membagi waktu, dari membaca al-Qur’an setiap selesai shalat 5 waktu secara mandiri. Adapun pagi, kami gunakan untuk berolahraga, mencuci, mandi dll. Begitu pula ketika sore hari, sembari menunggu waktu untuk berbuka puasa.
Setelah selesai membaca al-Qur’an, selepas shalat tarawih, kami sering berbincang-bincang dengan teman seangkatan kami. Tentunya sesuai dengan aturan protokol selama karantina. Hingga pada suatu malam, Allah Ta’ala menurunkan salah satu rahmat-Nya dari sekian banyak rahmat-Nya yang berupa hujan, sehingga mengharuskan kami semua kembali ke ruangan kami masing-masing.
Nasehat yang akan selalu kami ingat
Seketika, aku teringat dengan nasehat dua ustadz yang memberi kami bekal beberapa wejangan sebelum kami berangkat menuju pondok lain. Mungkin nasehat ini sangat ringkas tapi sangat sulit untuk diamalkan oleh kebanyakan orang, terutama bagi para penuntut ilmu, yang di antara adalah:
1. Menuntut ilmu dengan mengikhlaskan niat kepada Allah Ta’ala semata.
Di karenakan segala amalan tergantung pada niat seorang dalam melaksanakannya. Apakah dia mengharap wajah Allah semata atau mengharap dunia dan seisinya. Sebagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan setiap orang mendapatkan sesuai apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka mendapat pahala hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia dan seisinya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai kepada apa yang dia niatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Bersabar dan bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala apapun keadaannya.
Di antaranya adalah bersabar dalam menerima takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang baik maupun yang buruk serta menerimanya dengan lapang dada. Sebagaimana di dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala ketika mengisahkan nasehat Luqman al-Hakim kepada anaknya,
وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (QS. Luqman: 17)
3. Berakhlak dengan akhlak yang baik.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau selalu dipenuhi dengan akhlak yang baik semasa beliau hidup. Di antaranya dengan ramah, tersenyum ketika bertemu, bertutur kata yang baik, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda dan juga mencintai untuk saudaranya seperti apa yang dia cintai untuk dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman seorang dari kalian hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Penutup
Inilah beberapa nasehat yang disampaikan kepada kami sebelum berangkat ke pondok lain. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan beliau berdua dan seluruh asatidzah yang telah mengajari dan membimbing kami. Mungkin hanya sebatas ini yang bisa kami sampaikan dari pengalaman yang telah kami alami, semoga sedikit kisah ini bisa bermanfaat untuk kita semua. Amin