Menggenggam Harapan di Masa Antrian

Oleh Shafwan Depok, Takmili
“Afwan jadwal karantina antum masih tanggal 7 Juli nanti, karena sementara ini ruang karantina masih penuh.”
Kata-kata dari kakak kelas pengurus di Ma’had Minhajul Atsar di atas membuat kebahagiaanku menguap sejenak. Dahi ini mengkerut setelah mendengar apa yang dikatakannya. Padahal baru saja aku bereouforia dengan kesenangan.
Itulah perasaanku saat harus menempuh keputusan yang harus ku jalani. Padahal sebelumnya, aku begitu bahagia ketika orang tuaku mengizinkanku kembali ke Ma’had Minhajul Atsar. Pasalnya, untuk mendapatkan izin tersebut butuh perjuangan yang bukan main.
Pada tanggal 29 Mei 2021, akhirnya Allah membukakan hati orang tuaku untuk memperkenankanku kembali ke taman-taman Ilmu di ma’had tersebut.
Rasa bahagia yang berkecamuk, membuat aku tak sabar. Tanpa menunggu lama, langsung aku raih handphone. Tombolnya aku pencet dengan gesit, melacak nomor pengurus. Tapi… Kenyataan di atas membuatku tertegun putus asa. Harapan untuk segera kembali ke ma’had seakan pupus dan sirna.
Tapi aku tidak mau berhenti di situ. Aku memohon percepatan dari jadwal tersebut, mencoba meluluhkan hati kakak kelas pengurus. Tapi dia hanya menjawab, “Iya, nanti jika ada dari teman-teman yang berhalangan untuk datang, kami akan beritahu antum.”
Menunggu Panggilan, Suatu Harapan
Memang, untuk kembali ke Ma’had Minhajul Atsar tidak semudah yang dibayangkan. Kami harus untuk mengantri ruang untuk karantina mandiri. Walaupun Ma’had Minhajul Atsar sudah mencurahkan tenaga demi mendapat banyak ruang karantina, tapi jumlah santri yang hendak kembali ke situ lebih banyak lagi. Maka jika semakin lama tak mendaftarkan diri, semakin lama mendapat jatah antri.
Hari demi hari aku lalui, tidak jarang terbesit dalam hati ini, “Kapan yaa aku ditelepon.” Satu-satunya senjata yang kupegang dalam menghadapi masalah ini adalah kesabaran.
Sambil menunggu hari itu, aku sempatkan untuk mengurus pembuatan KTP-ku. Kebetulan umurku telah menginjak 17 tahun. Dalam waktu singkat, aku berhasil mengurus KTP, dan itu bertepatan dengan hari Jumat. Namun, aku masih harus menunggu 3 hari ke depan untuk mengambil fisik KTP-nya.
Kejadian di Hari Ahad
Kring…kriiing…kriiing…
HP berdering nyaring, dengan santai aku mengangkatnya. Tidak ku duga, ternyata yang menelepon adalah pengurus, “Assalamu ‘alaikum. Afwan. Apa antum siap untuk berangkat? Alhamdulillah, tempat karantina sedang ada yang kosong.”
Kaget, kesal, sedih, itu semua seakan menjadi adonan yang bercampur aduk setelah mendengarnya. Akhirnya dengan berat hati aku menjawab, “Afwan, sementara ini ana belum siap. Karena besok ana masih harus mengambil KTP.”
Usai menelepon, rasanya ingin kubanting handphone-ku, walaupun sayang juga, astaghfirullah. Itu karena aku bingung apa yang harus kulakukan. Aku tidak tahu harus memilih apa selain sabar dan sabar. Terpaksa aku harus melepaskan kesempatan pertama untuk kembali ke ma’had ini lewat begitu saja.
Kesempatan Kedua
Hari-hari pun mulai berlalu, masih dengan harapan mendapatkan kesempatan kedua. Akhirnya, tepat pada tanggal 1 Juli 2021 M, HP berdering memberikan informasi ada telepon yang masuk. Dengan rasa optimis dan percaya diri, segera ku raih handphone. Dugaanku tak meleset sedikit pun, aku memang menyangka kuat ini adalah pengurus.
“Ini pasti kesempatan kedua.” Pikirku dalam hati. Mulutku sudah mengambil ancang-ancang untuk mengatakan, “SIAP BERANGKAT!!”
“Afwan (diulangi 3x), ini ada pengunduran jadwal karantina. Antum juga termasuk yang tertunda. Sebetulnya jadwal giliran antum tanggal 7 Juli menjadi 13 Juli.” Ternyata apa yang keluar dari speaker handphone-ku tak sesuai ekspektasi, Qaddarallahu wama Sya’a Fa’al.
Duaarr…
Tubuh ini seakan hancur berkeping-keping setelah mendengar berita tersebut. Terpaksa dan dengan berat hati aku menerimanya, namun ku tetap berharap. Dan seperti sebelumnya, lagi-lagi kesabaranlah yang harus ku pegangi.
Tak Mau Jadi yang Ketiga Kalinya
Jarum jam yang terus berputar tak kenal lelah. Matahari yang terbit mulai menyapa di pagi hari. Tepat tanggal 7 Juli, tiba-tiba temanku senasibku yang jadwalnya juga diundur, memberitahuku untuk segera menelepon pengurus. Ada ruangan yang kosong, sebelumnya dia juga mendapat telepon dari pengurus, bahwa ada ruangan yang kosong.
Tanpa pikir panjang, aku mulai mencari alat komunikasi. Setelah mendapatkannya, segera aku hubungi pengurus.
“Oooh… Alhamdulillah, memang ada ruangan yang sedang kosong, apa antum siap untuk…”
Belum sempat pengurus itu menyelesaikan ucapannya, langsung aku potong dengan smash tajam, “InsyaAllah ana siap.”
Selesai menelepon, rasanya senang bukan main, alhamdulillah. Ingin sebenarnya untuk salto belakang mengekspresikan kebahagiaan, tapi sayang nggak bisa. Tidak berhenti mulut ini memuji-Nya karena masih diberi kesempatan untuk kembali menuntut ilmu di ma’had.
Kembali ke Taman Ilmu
Akhir cerita, aku dan temanku sepakat untuk memilih kendaraan persegi panjang agar mengantar kami dari ibu kota negara ini, menuju bagian timur pulau ini.
Mengambil pelajaran dari cerita di atas, bahwa kesabaran itu tidak mudah, benar-benar berat. Karena memang kadar keimanan kita masih sangat di bawah kalau boleh dibandingkan dengan para salaf terdahulu.
Semoga kita senantiasa mendapat taufik dari Allah Taala untuk bisa bersabar dalam mengahadapi setiap problematika yang ada. Dan juga agar kita berada di sisi-Nya kelak di akhirat.
Ana tutup dengan perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِين
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)
Pepatah Arab juga pernah berkata:
الصَّبْرُ كَالصِّبْرِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ العَسَلِ.
“Sabar itu bagaikan buah Sibr. Pahit rasanya, tetapi hasil akhirnya lebih manis dari madu.”
Semoga bermanfaat.