Mumpung masih muda, mari terus berkarya
Oleh Sa’ad Pangkep Takmili
يا معشر الشاب! اعملوا فإني رأيت العمل في الشباب
“Wahai para pemuda, berkaryalah! Sungguh aku yakin bahwa masa muda adalah masa-masa terbaik untuk berkarya.”
Begitulah sebuah kata bijak yang mengalir dari lisan seorang muhadditsah di zamannya, Hafshah bintu Sirin rahimahallah. Seakan-akan beliau ingin membangkitkan mereka dari tidur panjangnya, agar tak terlena dengan dunia, dan segera berbuat untuk akhiratnya.
Masa keemasan
Jarum jam tak lagi berbalik ke arah kiri, begitu cepatnya waktu bergulir dan berganti. Masa muda adalah masa keemasan, jangan biarkan ia pergi tanpa hasil yang berarti. Yahya bin al-Aktsam rahimahullah diangkat sebagai hakim di negeri Bashrah sedangkan umurnya sekitar 20 tahun.
Sebagian kalangan ragu dengan kemampuan sang pemuda ini akan jabatannya sebagai hakim. Mereka bertanya: “Berapa umur anda wahai hakim?”
“Umurku sekarang lebih tua dibanding umur Attab bin Usaid saat ditunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin Makkah. Saya pun lebih tua dibandingkan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu yang diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Yaman.”
Jawaban yang mengena di hati! Beliau ingin berpesan bahwa usia muda bukan menghalangi dari kemuliaan. Beliau menyebutkan beberapa pemuda yang diberi kepercayaan tinggi dalam agama agar kita segera sadar dari lamunan panjang kita.
Dimana kita dibandingkan mereka
Lalu, dimana para pemuda di masa ini? Hari-hari mereka berlalu dengan kesia-siaan tanpa sebuah makna. Pandang sendu serta muka yang menandakan kehampaan jiwa, hidup tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Simaklah kisah Abu Hatim ar-Razi rahimahullah dalam berbagi pengalaman masa mudanya: “Awal tahun aku menuntut ilmu, aku tinggal selama tujuh tahun. Aku hitung perjalananku dengan berjalan kaki, ternyata lebih dari seribu farsakh (lebih dari 5.000 KM). Senantiasa aku menghitungnya hingga hitunganku melebihi seribu farsakh, aku tak menghitungnya lagi.”
Aku tak menghitung berapa kali aku berjalan dari Kuffah menuju Baghdad, serta berkali-kali dari Makkah menuju Madinah. Aku juga keluar berjalan kaki dari negeri Bahrain menuju Mesir dan berjalan kaki dari Mesir ke Ramlah. Dari Ramlah menuju Baitul Maqdis. Dari Ramlah menuju Asqalan, dari Ramlah menuju Thabariyah, dari Thabariyah ke Damaskus, dari Damaskus menuju Hims, dari Hims menuju ath-Thakiyah, dari ath-Tahakiyah menuju Thursus.
Kemudian akau pulang dari Thursus menuju Hims lantaran tertinggal dari suatu hadits Abul Yaman lalu aku pun mendengarnya. Aku keluar dari Hims menuju Baisan, dari Baisan menuju Riqqah. Di Riqqah aku arungi sungai Eufrat menuju Baghdad. Sebelum keluar menuju Syam, aku pergi dari Wasith menuju Nil. Dari Nil menuju Kuffah, semua perjalananku tersebut dengan berjalan kaki. Ini terjadi pada safar pertamaku, kala itu aku berumur 20 tahun, petualanganku itu selama tujuh tahun.
Manfaatkan masa keemasan
Seakan beliau ingin menyadarkan kita, bahwa masa muda bukan saatnya untuk bersantai-santai dan bersenang-senang. Jangan membiarkannya berlalu tanpa hasil, pada masa-masa inilah waktunya untuk bekerja keras.
Lihatlah peralanan tholabul ilmi dari Abu Hatim rahimahullah! Beliau akhrnya menjadi kritikus yang mumpuni dalam bidang ilmu hadits.
Kisah sahabat Ibnu Abbas
Masa muda adalah waktunya untuk berkarya, sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma telah membuktikannya. Tatkala meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kala beliau merupakan seorang pemuda. Beliaupun menggandeng tangan seorang pemuda Anshar agar menuntut ilmu dari para sahabat lantaran masa itu mereka masih banyak yang hidup.
Temannya menjawab: “Aneh kamu wahai Ibnu Abbas, apakah engkau mengira bahwa manusia membutuhkanmu? Sedangkan di tengah-tengah mereka dijumpai para sahabat?” Bagi Ibnu Abbas, masa muda adalah masa berkarya tak boleh disia-siakan. Akhirnya beliaupun meninggalkan pemuda tadi.
Beliaupun belajar kepada para sahabat, hingga pada suatu hari, beliau mendatangi seorang sahabat yang mendengar hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata sahabat tersebut sedang tidur siang.
Beliupun dengan setia menunggu di depan rumah orang tersebut dengan berbantalkan selendang beliau untuk menanti, debu-debu pun menerpa wajah beliau. Tiba-tiba sahabat yang ditunggu keluar, iapun berkata: “Sesupu Rasulullah? Apa yang mendorongmu datang kemari? Tidakkah engkau mengutus utusan, lalu aku yang mendatangimu?”
Beliau pun menjawab: “Tidak, akulah yang lebih berhak mendatangimu. Telah sampai kepadaku sebuah hadits yang engkau sampaikan dari Rasulullah, maka akupun senang mendengarnya darimu.”
Bergulirlah waktu hingga manusia berkumpul di sekitar Ibnu Abbas untuk belajar kepadanya. Kemudian pemuda Anshor pun berkata tatkala melihat keadaan beliau demikian: “Pemuda ini lebih cerdas dariku.”
Renungan
Alangkah malunya kita membaca kisah para pemuda yang tidak menyia-nyiakan masa mudanya. Hendaknya dengan kisah di atas dapat membangunkan dari tidur kita, menghentakkan dari lamunan panjang.
Sebuah karya agung ktab at-tarikh al-Kabir, disebutkan padanya 3.600 lebih nama perawi hadits, bahkan setelahnya di sempurnakan lagi oleh ulama lainnya. Ia telah menjadi sebuah referensi penting di dalam ilmu. Bagi pecinta ilmu hadits, kitab ini ibarat mata air ilmu.
Ternyata sang penulis kitab ini adalah Imam al-Bukhari rahimahullah, beliau menulis kitab ini pada usia 18 tahun. Itu pun beliau menulisnya di biasan cahaya rembulan. Gaya tulisannya pun dengan model ringkas. Kata beliau: ”Hampir semua nama yang tersebut di kitab ini, aku memiliki kisah sendiri tentangnya, akan tetapi aku tidak ingin tulisan ini menjadi panjang.”
Ringkasan beliau ini termaktub dalam 8 jilid, bagaimana kiranya beliau mengukir seluruh yang beliau ketahui? Apa yang kita perbuat pada masa muda? Alhamdulillah Allah masih memberi kita kesempatan untuk berkarya. Marilah menyosong hari-hari yang bergulir dengan karya yang bermanfaat untuk agama. Wallahu ‘alam
2 Respon
[…] Baca Juga: Mumpung Masih Muda, Mari Terus Berkarya […]
[…] Baca Juga: Mumpung Masih Muda, Mari Terus Berkarya […]