PERNAHKAH MIMPI MELIHAT RASULULLAH?

malam

Pernahkah Anda mendengar seseorang melihat Rasulullah dalam mimpinya? Ataukah Anda sendiri pernah mengalaminya? Bisakah hal itu terjadi? Simak ulasan di bawah ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَآنِيْ فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِيْ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِيْ.

“Barangsiapa melihatku dalam mimpinya, maka ia telah melihatku. Karena sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku.”[1]

Beliau juga mengatakan,

مَنْ رَآنِيْ فَقَدْ رَأَى الْحَقَّ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَزَايَا بِيْ.

“Barangsiapa melihatku dalam mimpinya, maka ia benar-benar telah melihatku. Sebab, setan tidak bisa menjelma menjadi diriku.”[2]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَآنِيْ فِيْ الْمَنَامِ فَسَيَرَانِيْ فِيْ الْيَقْظَةِ، وَلَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِيْ.

“Barangsiapa bermimpi melihatku, maka ia akan melihatku dalam kondisi terjaga (di surga). Sungguh setan tidaklah bisa untuk menyerupaiku.”[3]

Dari hadis-hadis di atas kita bisa mengambil faedah ilmu,

  1. Melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mimpi merupakan suatu hal yang mungkin terjadi, sesuai sifat dan gambaran tentang beliau yang telah disebutkan dalam berbagai hadis; baik itu tentang postur tubuh, warna kulit, penampilan, jenggot dan lain sebagainya.
  2. Ketika menafsirkan hadis-hadis ini, Imam al-Munawi menjelaskan bahwa mimpi melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sesungguhnya adalah apabila seseorang melihat beliau dengan gambaran fisik dan sosok yang disebutkan dalam berbagai hadis sahih. Apabila ada pengakuan yang mengklaim telah melihat beliau dalam mimpi, namun tidak dengan gambaran yang sesuai tentang sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti dalam hadis-hadis sahih, seperti pengakuan bahwa beliau adalah sosok yang tinggi ataupun pendek, atau beliau berkulit coklat gelap; maka yang seperti ini bukanlah pengakuan yang benar. Orang tersebut sama sekali tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mimpinya.
  3. Makna ucapan Nabi, “Ia akan melihatku dalam kondisi terjaga” adalah melihat beliau secara khusus karena kedekatan dan syafaat beliau pada Hari Kiamat.
  4. Sebagian orang sufi mengklaim secara dusta bahwa mereka pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dunia dalam kondisi terjaga. Mereka bersandar kepada hadis ketiga yang telah disebutkan di atas.

Membantah hal ini, Imam Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Ucapan mereka ini seakan memiliki konsekuensi, yaitu menjadikan mereka sebagai sahabat Nabi dan bahwa para sahabat masih akan tetap ada sampai Hari Kiamat.” Tentunya ini adalah ucapan kebatilan. Ucapan seperti ini tidak akan mungkin keluar dari lisan seorang muslim.

  1. Aku pernah membaca sebuah kitab milik orang sufi, di sana tertulis, Abul-Mawahib asy-Syadzili berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku,-kemudian menyebutkan redaksi hadis palsu tersebut-. Akupun bertanya kepada penulis buku tersebut tentang siapakah Abul-Mawahib asy-Syadzili, “Apakah dia adalah seorang sahabat atau bukan?” “Bukan,” jawab penulis buku tersebut. Jawabannya, “Dia bukanlah seorang sahabat. Jarak antara masa Nabi dengan Abul-Mawahib adalah 5 generasi.” Dia lalu mengklaim bahwa Abul-Mawahib pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kondisi terjaga. Akupun berkata kepadanya, “Para sahabat saja tidak bisa bertemu Nabi sepeninggal beliau dalam keadaan terjaga atau sadar.” Namun penulis buku tersebut tidak puas dan tidak menerima penjelasan itu. Akupun bergumam, “Ini adalah kedustaan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau ancam dalam sabdanya,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

“Barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan sendiri tempat duduknya di neraka.”[4]

  1. Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang mengaku bahwa ia pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu beliau memerintahkan sebuah syariat. Syaikhul Islam menjawab, “Makruh, bahkan haram hukumnya menjalankan perintah tersebut.”

Para ulama telah menetapkan bahwa mimpi melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melahirkan hukum-hukum baru (syariat baru).

  1. Sebagian sufi, seperti Ibnu Arabi, mengklaim bahwa mereka mendapatkan ilmu agama secara langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tentunya hal ini bertentangan dengan firman Allah ta’ala,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيْنًا.

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan nikmatKu atas kalian dan Aku ridai Islam sebagai agama kalian.” (QS. alMaidah: 3)

  1. Bantahan telak bagi orang yang mengklaim telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kondisi sadar atau terjaga adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (100)

“Di hadapan mereka ada barzakh sampai pada hari mereka dibangkitkan.” (QS. al-Mukminun: 100)

[1] HR. al-Bukhari.

[2] Muttafaqun `alaih.

[3] Muttafaqun `alaih.

[4] Muttafaqun `alaih.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.