Semoga dengan amalan para santri Allah angkat musibah dari negeri ini

Oleh Mush’ab Klaten 3A Takhasus

 

Belum sempurna jarum jam menunjukkan pukul 03.00, di saat sang Abdullah menyeret ke dua kakinya yang sangat berat itu, jalanya gontai, bergoyang ke kanan dan ke kiri,kedua matanya pun, belum sempurna terbuka. Sesekali, kepalanya menoleh keranjang ranjang yang sudah kosong sedari tadi, ia bukan orang pertama yang memaksakan diri untuk bangun, dan meloncat dari ranjang.

 

Sesaat setelah membuka pintu, tiba tiba, derap langkahya menjadi sangat cepat. Matanya, kini menatap tajam,tak sedikitpun menggambarkan rasa kantuk. Bara semangat yang membara di hatinya,kini berkobar menyala nyala, membakar habis rasa kantuknya. Ternyata, terdengar keras di tempat itu, gema suara lantunan Alquran, yang saling sahut menyahut, meski menggema suara itu terdengar, namun ia berhasil menembus dingin pagi,dan menyulut suara Abdullah.

 

Suara itu dari masjid, di sana para santri duduk berjajar,sedang mushaf terbuka di pangkuan mereka,mulut mulut mereka, terus melantunkan kalam Ilahi,suaranya tak begitu jelas, karena mulut mereka tertutup masker. Sesekali terlihat diantara ada mereka yang berdiri, menenangkan diri, lalu bertakbir, menegakkan salat witir, Kadang, satu dua diantara mereka, terlihat duduk memangku mushaf, namun  tertunduk kepalanya, matanya terpejam oleh rasa kantuk.

 

Ramai sekali tempat itu, baris pertama, penuh sudah, baris kedua agak lenggang, tapi kecil harapan bisa duduk di sana,sudah ada sajadah sajadah terpasang, bertanda sudah ada yang menempati. Gema suara itu terus terdengar, masing-masing fokus dengan apa yang di baca. Sesekali, tangan mereka harus menaikkan masker yang turun kedagu,menyingkap hdung dan mulut yang harus selalu tertutu. Mereka sedang menghafal,atau mempersiapkan diri untuk setoran bakda subuh nanti.

 

Oh, Abdullah.., terpaksa Abdullah memberhentikan derap lanngkahnya sebelum masuk pintu masjid, ia harus menyemprotkan cairan sannitizer ketangannya. Sejak beberapa bulan ini, amalan itu menjadi “wajib,” dan harus dilakukan. Tanpa harus tolah toleh, Abdulloh sudah tau,di bagian mana ia akan duduk. Mushaf di tangannya, sementara ia titipkan ke salah satu temannya,kemudian ia bertakbir,memulai munajatnya kepada Sang Pencipta.

 

Meski tertutup masker, wajah wajah itu terlihat berseri, riang gembira. Seakan mereka lupa, dengan huru-hara di luar sana. Seakan mereka tak tahu ada hal besar, yang sedang terjadi. Di saat orang orang orang di luar sana, bersilang pendapat, antara berlebihan dan sikap menggampangkan, dalam menanggapi wabah ini, di tempat ini walhmdulillah, mereka tetap sibuk dengan belajar, menghafal, membaca, serta berkarya dan berbagi.

 

Hari hari mereka penuh dengan nuansa ilmu. Meski Covid sedang menampakkan taringnya, memakan korban tanpa belas kasih, mereka seolah tak peduli dengan itu semua. KBM tetap berjalan, prestsi tetap bertahan, tak jarang dari mereka yang melonjak hasil belajarnya di masa Covid ini.

 

Sesekali mereka bermain,sesekali mereka bercanda. Liburan yang tertunda, bukan menjadi alasan bagi mereka, untuk kemudian mundur dan mengeluh. Padahal, mereka bukan anak kecil yang tak paham kondisi, tak tahu apa yang sedang terjadi. Mereka bukan anak-anak yang tak terkena dampak Covid, atau tak mengerti apa itu covid, tapi mereka tahu apa yang seharusnya dilakukan.

 

Masker yang mereka kenakan, jaga jarak antara meraka, handsanitizer atau sabun di tangan mereka, adalah bagian kecil dari dampak Covid yang mereka rasakan.  Meski Covid menyerang negeri, membuat gugup dan bingung penduduk bumi, ia tak mampu menggoyahkan semangat dan tekad mereka, Alhamdulillah.

 

Lihatlah, baris depan itu tak pernah kosong, mungkin sesekali, tapi itu jarangsekali. Bukannya mereka tak pernah jenuh tapi dengan pandainya rasa jenuh itu disiasati. Kadang mereka bermain, kadang mereka bergurau, itu semua demi menjaga keistiqomahan di jalan tholabul ilmi. Kadang semangat mereka turun malandai, tapi dengan cepat, kembali semangat itu terbang tinggi. Mereka sadar, inilah yang semestinya dilakukan, di masa pandemi.

 

Mereka tahu, ini adalah musibah, yang turun karena dosa-dosa, dan akan terangkat, dengan iman dan takwa. Itu yang mereka yakini, dan itulah yang terus memompa semangat mereka di masa masa seperti ini. Mereka sadar, sujud dan rukuk mereka tak akan sia-sia, mereka yakin, wabah ini akan terangkat dengan amal saleh, memperbanyak tobat dan istigfar, serta dengan menjauhi maksiatdan dosa. Dan inilah yang mereka jalani..

 

Berangsur gema suara itu menghilang, tiba-tiba semua sepakat memberhentikan bacaannya. Ternyata sang muazin telah bersiap di depan microfon, telunjuk sudah menutup lubang telinganya, bersiap untuk mengumandangkan azan, tanpa disadari, kapan ia menerobos barisan ini.. Hening.. sunyi.., kini hanya suara azan yang terdengar. Mereka semua menunduk, menjawab seruan Ar Rahman.

 

Sesaat setelah azan selesai berkumandang, sontak mereka berdiri, masing-masing mengambil posisi, lalu bertakbir salat dua rekaat; dua rekaat yang lebih baik dari dunia dan seisinya.

 

Dengan hati yang khusyuk, mereka memelas di hadapan  Allah..

Ya Allah…selamatkan kami dari fitnah, yang tampak atau yang tersembunyi..

Ya Allah.. hanya kekuatanMu lah yang mampu mengalahkan makhluk ini..

Tiada daya dan upaya selain apa yang Engkau berikan untuk kami..

Ya Allah, jadikan apa yang kami lakukan di sini sebagai bentuk amal saleh, yang dengannya Engkau angkat wabah ini. Amiin Ya Mujibas Sailin.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.