Berlibur bersama Tim Dapur

 

Oleh Mush’ab Klaten 3A Takhasus 

 

Dari dulu dapur ma’had (pondok pesantren) Minhajul Atsar Jember memang jarang sepi. Sejak sebelum Subuh, sudah terdengar dari sana suara semburan api kompor raksasa itu yang sedang memasak nasi untuk dijadikan sarapan pagi. Sederhana tempat itu, tapi jangan salah sangka itu adalah salah satu fasilitas vital ma’had hingga kini.

Bangunan berukuran kurang lebih 7×15 meter itu, terletak di tempat strategis, tepat di sebelah barat masjid pondok menjadi saksi semangat mujahidin (para pejuang) yang bertugas di sana. Siang malam mereka tak kenal lelah, terus melayani tholabatul ilmi (para pencari ilmu).

 

Kondisi dapur di hari Jumat

Tapi ada yang beda, kalau kamu lihat tempat itu di hari Jumat, semua petugasnya bukan petugas yang biasa bekerja setiap harinya. Melainkan orang–orang barulah yang menyetir dapur di hari tersebut agar tetap berjalan sebagimana biasa. Orang-orang biasa memanggil mereka dengan sebutan ‘Tim Dapur Jumat’.

Hari Jumat adalah satu-satunya hari kami berlibur dalam sepekan. Semua kepenatan selama satu minggu kami lepaskan pada hari tersebut. Setelah satu minggu punggung kami pegal karena banyak duduk, mata yang lelah karena banyak membaca, baru di hari inilah kami bisa uraikan itu semua.

Namun tak begitu bagi “Tim Dapur Jum’at”. Saat keringat para santri di lapangan pondok yang terletak di depan masjid tengah membanjir keluar bersama noda-noda penat itu, sorakan mereka yang terdengar di seluruh pelosok ma’had. Justru “Tim Dapur Jum’at” sibuk dengan pisau dan wajan, memperdengarkan suara bising sepatula (Jw. sutil) yang menggesek wajan.

 

Melepas kepenatan dengan ta’awun (membantu pondok)

Jangan tanya dengan kepenatan mereka selama seminggu menjalani KBM, tentu tak jauh beda dengan teman-temannya yang lain. Hanya saja bukan dengan bermain mereka lepaskan penat itu, mereka tak rela waktunya sia-sia terbuang dengan sorak dan canda yang sebenarnya boleh-boleh saja.

Namun mereka ingin yang lebih dari itu, mengingat betapa besarnya pahala yang diperoleh dari dapur ma’had ini, terutama di hari Jum’at yang tak semua orang sanggup untuk melakukannya.

Mereka harus bekerja sepanjang hari, tak jarang mereka telat mandi gara-gara menu masakan yang ribet. Tidur sebelum Jum’atan tak lagi mereka agendakan karena tak ada waktu lagi untuk itu. Bahkan mereka rela, mendapat antrian mandi paling belakang, demi menyelesaikan tugas-tugas dapur yang seabrek itu.

 

Memang demikianlah harusnya seorang tholabul ilmi, ia tak rela waktunya terbuang sia-sia untuk perkara-perkara mubah, sesekali boleh, namun jika keseringan, hal itu akan berdampak negatif pada belajarnya mereka. Bahkan seharusnya, setiap kali dia menganggur atau bosan melakukan suatu amalan, dia langsung berpindah kepada amalan yang lain.

Sebagimana firman Allah Ta’ala:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ

“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS. An-Nasyr: 7)

Pekerjaan seberat ini takkan dapat dilakukan tanpa keikhlasan dan jiwa ta’awun mereka yang mengakar. Meskipun banyak yang menganggap remeh tim dapur, tapi lihatlah, dengan inilah mereka mengamalkan ilmu mereka. Ilmu mengikhlaskan semua amalan, yang memang ibadah atau perkara mubah yang diniatkan sebagai amalan.

Dengan ini pula mereka semakin sadar arti kebersamaan, kebersamaan dalam bekerja, dalam menjalankan tugas, lebih dari itu, kebersamaan dalam tholabul ilmi. Mereka tahu orang-orang yang mereka layani ini adalah para pejuang Islam, yang karena-nyalah mereka rela berkorban, demi memberikan yang sebaik-baiknya untuk mereka. Bukankah yang mereka lakukan ini termasuk bentuk ta’awun? Allah Ta’ala  berfirman:

وَتعاونوا على البر والتقوى ولا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Tolong menolonglah di atas kebaikan dan takwa. Jangan tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan. Bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”  (QS. Al-Maidah: 2)

 

Sekali dayung dua pulau terlampaui

Tapi jangan salah! Meski di dapur, mereka juga tak lupa dengan ilmu, tak jarang suara-suara bising khas dapur itu terkalahkan dengan suara taklim dari speaker (pengeras suara) yang mereka putar. Malah, siapa saja yang duduk di sekitar dapur itu bakalan dengerin murottal (bacaan al-qur’an) merdu dari salah satu tim dapur itu, atau terkadang lantunan mereka yang membaca matan pelajaran yang mereka pelajari.

Walaupun di hari itu mereka jadi petugas dapur, meski mereka duduk di depan penggorengan, tapi mereka tetap ingat dengan tujuan utama berkelananya mereka ketempat ini. Memang, ilmu tak kenal waktu, ilmu tak mengenal tempat. Dimanapun, kapapun, ilmu adalah rohnya tholibul ilmi.

Semoga apa yang mereka perjuangkan selama ini dapat menjadi sebab semangat mereka dalam belajar, dan menjadi sebab keistiqomahan mereka di atas as-Sunnah yang mulia ini. Serta amalan ini dapat menjadi pemberat di akherat kelak.  Amin ya mujiibas saailin

 

Mungkin Anda juga menyukai

1 Respon

  1. Tsabit berkata:

    Terus semangat dlm berta’awun dikancah tholabul ilmi..kepada Allohu kt mohon pertolongan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.