Ayah, sosok pejuang untuk kami

qurban

 

Oleh Ishlah Lahamido Palu

 

Pembaca yang semoga Allah rahmati, suatu yang tidak di pungkiri lagi tentang besarnya hak orang tua atas anaknya. Berbagai dalil al-Quran dan as-Sunnah telah menerangkan akan wajibnya berbakti kepada kedua orang tua, terkhusus sang ibu. Ibu memiliki kedudukan yang lebih atas ayah.

Bagaimana tidak, ibu yang melahirkan anak, mengasuh, dan menyapihnya. Dari air susunya mengalir air yang bersih, sehat, dan bergizi. Perutnya menjadi wadah kehidupan anak sebelum menghirup udara di dunia. Apa yang berat bagi anak ringan bagi ibu. Saat si anak sakit, sang ibu pun merasa sakit, kala si anak senang maka sang ibu pun merasa senang.

 

Wajibnya berbakti kepada orang tua

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya,

مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: «أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «ثُمَّ أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «ثُمَّ أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «ثُمَّ أَبُوكَ»

“Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Kemudian orang itu bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi?” “Ibumu.” jawab beliau. Kali yang ketiga orang itu masih bertanya kembali, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” Jawab beliau. Orang itu bertanya kembali, “Setelah itu siapa lagi? Beliau menjawab, “Ayahmu.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pembaca yang semoga Allah rahmati…

Setelah kita mengetahui betapa besarnya jasa ibu dibanding sang ayah. Namun demikian, ayah tetap memiliki hak besar yang wajib ditunaikan oleh anak-anaknya.

 

Kedudukan Ayah dalam Islam

Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, “Wahai Rasulullah, ayahku telah mengambil hartaku!” Maka Rasulullah memerintahkan kepadanya, “Pulanglah dan bawalah ayahmu kemari!” Tatkala sang ayah datang, Rasulullah bertanya kepada sang ayah, “Kenapa anakmu mengadukanmu, apakah engkau hendak mengambil hartanya?”

Ia menjawab, “Tanyalah dia wahai Rasulullah! Apakah dia menginfakkan hartanya kepada bibinya atau kepadaku!” Lalu Rasulullah berkata: “Beritakanlah kepadaku sesuatu yang engkau katakan dalam jiwamu yang kedua telingamu mendengarnya!”

 

Ia menjawab lagi, “Demi Allah, wahai Rasulullah. Allah senantiasa menambah keyakinanku kepada dirimu. Aku telah berkata kepada jiwaku yang telah didengar oleh kedua telingaku.” Rasulullah berkata, “Katakanlah, aku akan mendengarnya!” Ia pun mengucapkan sebuah syair yang ia tujukan kepada anaknya:

Aku memberimu makan ketika engkau kecil…

Menanggungmu ketika engkau beranjak dewasa…

Namun engkau menyakitiku, padahal aku menyayangimu…

 

Ketika malam engkau ditimpa rasa sakit, tidaklah aku memejamkan mata…

Demi sakitmu itu, aku bergegas untuk tetap terjaga…

Ketika kedua mata ini lalai darimu…

Seolah-olah diri ini menjadi sasaran pukulan yang dengannya engkau dipukul…

 

Diri ini takut binasa disebabkan dirimu, padahal aku yakin kematian itu begitu dekat…

Maka, tatkala aku mencapai umur tuaku dan waktu yang telah ditentukkan untukku…

Tidaklah aku berharap lagi padamu…

 

Engkau membalas kebaikanku dengan balasan yang keras lagi kasar…

Seakan-akan engkaulah pemberi nikmat yang lebih banyak…

Setelah Nabi mendengar ucapan sang ayah, seketika itu Nabi mengambil kerah baju anak itu dan menyerahkan kepada ayahnya sambil bersabda, “Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.”

 

Penutup

Para pembaca yang semoga Allah Ta’ala rahmati…

Berdasarkan dalil di atas, menunjukkan bagi kita akan besarnya jasa kedua orang tua dan wajibnya birrul walidain kepada keduanya.

Semoga Allah merahmati kita dan menjadikkan kita sebagai orang yang dapat berbakti kepada kedua orang tua saat hidup maupun sepeninggalnya. Amin[1],[2]

[1] Bait syair ini di nisbatkan kepada Yahya bin Sa’id, Ibnu Abdil A’la, Abul ‘Abbas al A’ma, juga dinisbatkan kepada Umayyah bin Abi ash-Shalt. Lihat: “Uyuunul Akhbaar (3/87), Kasyful khafa’ (1/207-208), Birrul Waalidain karya Imam ath-Thurthusyi (halaman 108-109). Lihat pula al Irwa karya Syaikh al-Albani (838).

[2] Lihat juga buku Baktiku untukmu duhai ibu bapakku, pustaka al Haura (halaman 93) terjemahan dari kitab Ma’aalim fii birril waalidain karya syaikh Dr. ‘Abdil Aziz bin Muhammad ash-Shadan.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.