Bersama di Jalan Agama

   Bagi kami, lingkungan baru dengan tugas baru bukanlah hal mudah. Apalagi, kami hanya diberi waktu satu bulan, atau kurang dari itu. Belum lagi, ilmu dan pengalaman kami sangat minim. Sebab, ini adalah pengalaman pertama kami. Kami dituntut beradaptasi dengan lingkungan baru, menyesuaikan diri dengan orang-orang baru, sistem baru, peraturan baru, kebiasan baru, dan yang serba baru lainnya. Pokoknya, semuanya baru. Alhasil, kami harus melalui hari-hari berat. Kami benar-benar harus berjuang keras. Itulah kehidupan. Sadar atau tidak, setiap kehidupan, kehidupan siapapun itu, tak lepas dari perjuangan.

   Demikianlah suasana praktek kerja lapangan (PKL) yang kami jalani. Oh iya, kami adalah para santri kelas 3 program I’dadi Ma’had as-Salafy Jember. Jumlah kami sekitar 36 orang. Sebelum lulus, pondok memberi kami tugas PKL. PKL merupakan salah satu program pembekalan santri tingkat akhir di Ma’had as-Salafy. Bentuknya, para santri dikirim ke berbagai pondok pesantren. Di pondok tersebut santri ditugasi mengajar, kemusyrifan (mengawasi anak-anak didik), dan tugas-tugas pendidikan lainnya. Bukan karena sudah pantas untuk mengajar dan mengemban tugas lainnya. Justru, program ini dibuat agar kami belajar.

***

  Hari itu cerah. Secerah harapan kami menatap masa depan. Hari itu Jumat, tanggal 20 Rabi’ul Awwal 1437 H/1 Januari 2015 M. Di hari tersebut KBM (kegiatan belajar mengajar) semester ganjil program I’dadi Ma’had as-Salafy Jember resmi berakhir. Hari sebelumnya, seluruh santri menerima rapor. Nilai kami, kelas 3, tidak sebagus nilai adik-adik kelas. Rasa-rasanya, kami memang tidak fokus mengerjakan soal UAS. Pasalnya, konsentrasi belajar kami sedikit banyak tersita untuk mempersiapkan kegiatan PKL.

   Wajar, PKL merupakan hal baru bagi kami. Istilah PKL pun baru kami dengar baru-baru ini saja. Maklum, mayoritas kami menghabiskan masa kecil di dunia pesantren. Walau begitu, kami bangga dan bahagia dengan itu. Karena baru dan asing bagi kami, PKL pun begitu menyita pikiran. Program dua minggu ke depan–yang akhirnya diperpanjang menjadi satu bulan–membuat kami penasaran. Tak jarang, PKL sampai terbawa lamunan, bahkan dalam impian.

   Kawan, jangankan mengerjakan soal UAS, untuk tidur memejamkan mata saja terganggu. Rasa deg-degan bercampur dengan perasaan senang sekaligus takut. Deg-degan, karena ini adalah pengalaman baru. Senang, karena kami bisa jalan-jalan ke pondok lain. Namun, agaknya rasa takut yang mendominasi. Terus-terang, kami belum siap untuk dijadikan sebagai “ustadz”. Kami belum pantas. Kalau dipaksakan, khawatir menjadi ustadz jadi-jadian. Sebab, menjadi seorang pengajar adalah amanah yang tidak ringan.

***

   Melalui kegiatan PKL, harapan besar digantungkan kepada kami. Yaitu, agar kami belajar menjadi seorang mujahid sejati. Seorang yang siap melanjutkan estafet dakwah Ahlusunnah dan siap ditempatkan di mana saja, kapan saja, kondisi apa saja, dan bersama siapa saja. Juga agar kami belajar menjadi orang yang lebih daripada hanya sekedar mengajar. Namun, juga menjadi murabbi (pendidik) yang bisa “ngemong” umat, membantu bukan merepoti, melayani bukan dilayani, memberi bukan meminta, mendengar bukan banyak komentar, peduli bukan mencaci, bekerja bukan hanya memerintah, dan harapan-harapan lain.

   Wuih, harapan yang tidak ringan bukan? Allahul musta’an. Rasa-rasanya kami tidak mampu merealisasikannya. Kami justru harus banyak berkaca, melihat segala kelemahan dan kekurangan diri pribadi. Kawan muda, harapan tersebut semakin menambah berat perjalanan kami. Pinginnya, mundur saja dari jalan ini. Namun kami yakin, laa haula walaa quwwata illa billah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Sekali lagi, kami yakin bahwa selama ikhlas dan tulus memperjuangkan agama Allah, manusia tidak jauh dari pertolongan.

***

   Persiapan, disusul dengan keberangkatan hingga kepulangan, mengandung sejuta kisah, pelajaran, serta pengalaman. Kami dididik oleh keadaan untuk tetap ikhlas, sabar, koordinasi, musyawarah, bekerja sama, bekerja bersama-sama, tafahum (saling memahami), tanazul (saling mengalah), ta-akhi (saling bersaudara), saling menghargai, mengingatkan satu sama lain, amar makruf nahi mungkar, saling memotivasi, menghibur, dan lain-lain.

   Begitu kami menginjakkan kaki di berbagai pondok pesantren lokasi PKL, rasa syukur membuncah. Rasa syukur atas segala-galanya. Syukur karena ternyata di berbagai daerah kami memiliki banyak saudara. Walaupun baru bertemu, seolah kami adalah satu. Memang benar, kami satu akidah dan satu prinsip. Rasa satu inilah yang melelehkan berbagai sekat itu. Kesatuan akidah dan prinsip inilah yang menghapus bayang-bayang berat sebelum PKL. Dengan kata lain, ukhuwah Islamiyah meruntuhkan segala sekat pemisah.

   Masih dalam bingkai syukur, ternyata ada pondok pesantren yang kondisinya tidak lebih baik dibandingkan pondok kami di Jember. Fasilitas penunjang yang ada hanya sederhana. Ya Allah, ampunilah kami. Selama ini kami hanya mengeluh, selama ini kami terus menuntut. Ternyata, kami jauh lebih enak dibandingkan mereka. Namun, mereka tidak menuntut seperti kami. Mereka juga tidak mengeluh seperti kami. Seketika itu, kami menunduk. Menunduk karena malu. Malu terhadap saudara-saudara kami. Malu kepada para ustadz kami. Malu kepada diri kami sendiri.

***

   PKL betul-betul memberikan manfaat besar. Tidak hanya untuk pondok pesantren yang kami tinggali, tetapi justru untuk kami.  Di situ, kami belajar peduli. Di lingkungan baru, kami belajar berbagi. Dengan saudara-saudara kami, harus ada rasa simpati dan empati. Tidak menunggu, tetapi harus memburu, buang rasa ego, kedepankan kemaslahatan bersama. Ah, tidak kuasa lisan ini untuk mengungkapkan segalanya.

   Dengan kehadiran kami, pondok pesantren lokasi PKL merasa terbantu. Memang, mereka sangat membutuhkan tenaga bantuan, baik pengajar maupun musyrif (pengawas). Kami trenyuh melihat perjuangan ustadz dan ikhwah setempat. Dengan segala keterbatasan dan banyaknya kesibukan, mereka mengorbankan segalanya demi dakwah. Serasa, apa yang kami berikan tidak seberapa. Sekali lagi, kami harus belajar dari mereka.

   Kawan, ikhwah setempat juga ikut merasakannya. Kami bisa berbagi sedikit ilmu yang kami punya kepada mereka yang haus ilmu syar’i. Kedatangan singkat kami ini pula sebagai hiburan bagi saudara kami Ahlusunnah, mengingatkan kembali bahwa di sana masih ada saudara-saudara mereka yang peduli terhadap mereka, peduli terhadap perkembangan dakwah di tempat mereka, siap membantu mereka, juga  siap mengobati dahaga ilmu mereka.

***

   Kawan penimba ilmu, masih ingatkah kita bahwa setelah belajar, masih ada 3 kewajiban yang harus ditunaikan? Beramal, berdakwah, dan besabar dalam menjalankannya. Di sebagian daerah, ikhwah dan pengurus tidak pernah duduk di pondok pesantren. Salah seorang dari mereka bercerita, bahwa dulu ia hanya mahasiswa. Kemudian mengenal dakwah. Belajar dan taklim sambil kuliah. Sekembalinya ke kampung halaman, ia diminta untuk merintis dakwah di kampungnya. Katanya, “Ibarat buah, kami ini cuma karbitan.”

   Obrolan singkat di atas menyadarkan kami tentang sebuah nikmat besar. Nikmat berupa fokus menimba ilmu di pondok pesantren dan belum terganggu oleh hal-hal lain. Satu hal yang kita harus belajar dari mereka, bahwa sekalipun ilmu terbatas, mereka tetap semangat berjuang dalam dakwah. Dengan segenap asa yang ada, mereka gigih menyebarkan ilmu.

***

   Kawan, melalui lembaran ini kami ingin berpesan, berikan perhatian kepada ilmu al-Qur’an. Ternyata, masih banyak saudara-saudara kita yang belum lancar membaca al-Qur’an. Mereka sangat ingin bisa membaca al-Quran dengan baik, sesuai dengan kaidah tajwid. Terbukti bahwa semua kelompok PKL diminta untuk mengajar tajwid dan tahsin. Para ikhwah sangat antusias mengikuti pelajaran tersebut. Bahkan ada satu ikhwah meminta privat belajar tajwid. Ikhwah tersebut mengambil cuti dari pekerjaan demi mempelajari huruf ‘ain dan ghain agar baik dan benar. Jarak lumayan jauh tidak menjadi penghalang untuk hadir pertama di majelis.

   Ya Allah, ajari hamba untuk tetap bersyukur. Mayoritas kami, pada usia belia sudah lancar membaca al-Quran, alhamdulillah. Bahkan ada yang sudah selesai menghafal al-Quran 30 juz. Subhanallah. Namun, kita tetap perlu belajar dari para orang tua itu. Belajar istiqamah kepada mereka. Usia yang sudah lanjut dengan kesibukan luar biasa, tetap semangat belajar membaca al-Qur’an. Bisa jadi, kalau diukur dan dibandingkan, semangat kita kalah dengan mereka.

   Maka, sungguh menyedihkan tatkala melihat seorang santri dilanda futur, lemah semangat, merasa kesulitan dalam belajar lalu menggantinya dengan kegiatan negatif, wal ‘iyadzu billah. Bagaimana tidak, seorang yang sudah bekerja saja rela menghentikan pekerjaannya sejenak hanya untuk belajar ilmu. Seorang yang  mencari nafkah rela meluangkan waktu hanya untuk sekedar belajar huruf alif, ba’, ta’, tsa’. Ia rela menggunakan waktu istirahatnya untuk bersusah payah mengucapkan huruf dhad.

***

   Wahai pemuda Ahlusunnah, mari bangkit! Ayo bangun dari tidur nyenyak kita. Sejenak kita buka mata hati kita. Melihat pondok pesantren-pondok pesantren Ahlusunnah di sekitar kita. Ternyata, mereka sangat butuh uluran tangan. Sangat berharap kedatangan orang-orang yang kelak membantu mendidik putra mereka. Demi mewujudkan harapan yang mereka gantungkan kepada para buah hati. Kelak, mereka yang akan menggantikan ayah ibu mereka dalam memikul amanat dakwah ini. Nanti, anak-anak lucu ini akan menghadapi masa yang lebih sulit. Masa yang cobaannya lebih dahsyat. Mari bantu mereka!

   Sebuah kisah dari kawan kami, ada sebuah pondok di Jawa Timur yang hanya memiliki satu musyrif. Musyrif tersebut sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Ia tidak tinggal bersama keluarganya. Musyrif tersebut justru memilih tinggal di pondok, menemani 30 santri. Ia rela pulang ke rumah sekali sepekan. Mari merenung! Apa yang membuat beliau rela menemani para santri calon dai tersebut? Tentu, pahala, surga, serta harapan baik untuk masa depan para santri tersebut.

   Sekali lagi wahai sahabat kami. Kuatkan hati ini. Ikhlaskan niat karena Allah di setiap langkah kita. Teguhkan pendirian untuk terus belajar ilmu syar’i. Kokohkan kaki di atas manhaj yang sahih. Sabarkan diri kita terhadap ujian dan cobaan. Bangkitkan jiwa peduli terhadap sesama. Kobarkan semangat taawun. Jalin ukhuwah di antara kita. Latih diri kita untuk menjadi pribadi yang peka terhadap lingkungan dan dakwah. Musnahkan keinginan riya, sum’ah, ujub, dan segala sesuatu yang merusak ikhlas. Hilangkan perasaan iri, dengki, hasad, dendam, serta kebencian. Karena di  bahu-bahu kita ada beban dakwah yang sangat berat. Marilah kita bersama memikul beban dakwah ini.

***

   Sebagai pelengkap, kami ceritakan sebuah kisah dari seorang teman kami. Di tempat dia magang ada seorang bapak yang sudah sepuh, kurang lebih umurnya 60 tahun. Setelah mencari kebenaran selama hampir 50 tahunan, akhirnya Allah mengenalkan dakwah Ahlusunnah. Hingga beliau mantap dalam menapaki manhaj ini di tengah-tengah keawaman keluarganya. Namun, hal itu bukan penghalang. Beliau tetap mengajak keluarganya untuk menghadiri taklim-taklim Ahlussunnah. Dengan sebuah harapan semoga pintu hidayah terbuka untuk mereka.

   Si kawan berkisah, di malam menjelang kepulangan kami, bapak tua itu datang. Dengan wajah berseri-seri serta senyumannya yang membuat hati kami tenang, seolah jiwa muda masih menggelora padanya. Beliau pun menyampaikan nasehat singkat. Singkat namun padat. Dan sangat bermakna bagi yang ingin merenunginya. Kata beliau, “Perjuangkanlah dakwah Ahlusunnah ini dengan sekuat tenaga. Gigitlah dengan gigi gerahammu sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah.”

   “Karena saya yakin, dakwah sunnah inilah yang benar di sisi Allah. Jangan engkau mencari selain dakwah sunnah ini!” tambahnya. Ketika mendengarkan nasehat itu, rasanya hati ini ingin menangis. Bukan karena hendak berpisah dengan beliau. Tetapi karena mengingat banyak waktu yang tidak kami gunakan dengan baik. Melalui nasehat ini seakan beliau ingin memberi semangat kepada seluruh pemuda Ahlussunnah. Nasehat untuk semangat dalam memperjuangkan dakwah ini bersama-sama.

***

   Melalui lembaran-lembaran ini pula, kami juga menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada segenap ustadz pengampu di Ma’had as-Salafy Jember dan ustadz pengampu di berbagai pondok pesantren lokasi PKL, di Situbondo, Sidoarjo, Probolinggo, Malang, Ngawi, dan Wonogiri. Semoga Allah menjaga para ustadz dan memberi taufik kepada kita semua untuk bisa istiqamah di jalan agama. Terakhir, kesan yang kami rasakan, hari-hari PKL menjadi hari-hari yang tak terlupakan. Walaupun hanya satu bulan, namun seumur hidup tetap berkesan. Sepanjang masa menjadi kenangan. Sekalipun hanya 30 hari, tetapi cukup memberi motivasi dan inspirasi.