Meninjau Pudarnya Nuansa Keislaman di Rajegwesi “Gerbang Menuju Keanekaragaman Hayati”

   Rajegwesi adalah gerbang masuk kawasan Taman Nasional Meru Betiri yang menyimpan keanekaragaman hayati. Berbagai destinasi wisata menarik seolah tidak akan sulit kita temukan di daerah ini.

rajegwesi

   Tabu rasanya apabila kita memasuki sebuah lokasi tanpa melewati gerbangnya. Bak seorang pencuri yang masuk rumah tanpa melalui pintunya. Gerbang suatu tempat merupakan cerminan apa yang ada di dalamnya.

   Terletak di desa Sarongan kecamatan Pesanggaran. Daerah ini masuk wilayah kabupaten Banyuwangi. Jarak Rajegwesi dengan kota kecamatan sekitar 19 km. Jarak dengan kota kabupaten sekitar 90 km. Dengan estimasi waktu mencapai 3 jam.

   Mayoritas penduduk Rajegwesi bermata pencaharian sebagai nelayan. Sebagian kecil dari mereka mengais rezeki dengan memanfaatkan hasil hutan. Semakin meningkatnya potensi wisata dalam kurun waktu belakangan ini membuat sebagian penduduk beralih profesi menjadi pemandu & penyedia layanan pariwisata.

rajegwesi-2   Sampai saat ini, alhamdulillah jumlah warga beragama Islam di dusun Rajegwesi lebih banyak daripada pemeluk agama lain. Namun jika ditinjau dari sisi yang lain, maka jumblahnya seimbang. Hal ini bisa terlihat dengan banyak munculnya berbagai macam tempat ibadah baru. Mulai dari gereja, wihara sampai pura. Bahkan wihara di kecamatan ini merupakan yang terbanyak se-kabupaten Banyuwangi.

   Masyarakat yang kurang peduli terhadap permasalahan agama dan didukung oleh dana yang kuat dari luar daerah merupakan sekian sebab bermunculannya tempat-tempat ibadah baru.

   Sepanjang perjalaan menuju Rajegwesi, kita dapati bangunan-bangunan tempat ibadah masyarakat nonislam lebih megah jika dibandingkan musholla ataupun masjid. Sungguh, keadaan yang miris. Dengan kondisi yang seperti ini, bukanlah hal yang mustahil jika dalam beberapa tahun kedepan jumlah penganut agama nonislam di Rajegwesi khususnya ataupun Pesanggaran umumnya akan lebih banyak dibadingkan muslimin.

   Sebagaimana masyarakat pesisir ataupun masyarakat di lokasi wisata, nampaknya agama adalah permasalahan nomor sekian.

   Sama seperti daerah-daerah keumuman, masyarakat Rajegwesi pun punya tradisi/ritual khusus berkaitan dengan laut. Di antaranya tradisi “Petik laut” yang sekarang ini telah menjadi agenda wisata daerah tersebut. Mereka juga masih meyakini bahwa pada hari-hari tertentu mereka tidak boleh melaut, percaya adanya makhluk penguasa laut selatan, bahkan di dekat pantai Rajegwesi terdapat makam orang yang dianggap sakti oleh mereka. Tidak jarang kegiatan bersemedi dan meminta barokah dilakukan di  makam tersebut. Sungguh suatu hal yang membuat miris hati kita. Hal ini menunjukkan minimya pengetahuan agama, terutama permasalahan tauhid.

   rajegwesi-3Rajegwesi, salah satu warna-warni keindahan alam di balik nuansa islam yang buram. Begitu banyak destinasi wisata favorit di tempat ini, namun di balik itu cahaya islam meredup seakan menunggu waktu padamnya. Lantas siapa yang bertanggung jawab menghidupkan kembali cahaya islam di Gerbang Menuju Keanekaragaman Hayati itu?! Tentu kita wahai saudara-saudara.

   Dakwah tidaklah harus dengan mengisi kajian, khotbah dll. Akan tetapi kita bisa mengenalkan islam dengan terjun dan berbaur bersama masyarakat di sana, membantu kegiatan dan aktifitas penduduk sekitar, mencoba memperkenalkan diri bahwa inilah generasi muda Islam Salafy. Generasi yang dididik melalui bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah. Generasi yang tidak kaku, bisa dan mau terjun ke masyarakat. Generasi yang berguna bagi masyarakat sekitarnya.

   Mari bersama-sama bantu saudara-saudara kita menemukan cahayanya kembali, yaitu cahaya islam yang akan mengantarkan mereka kepada keindahan jannah Allah subhanahu wata’ala yang tiada tara.