Mengenang Memori Februari 2014
Benar bukan, kita yang dimudahkan Allah hidup di sekitar ma’had, merasakan begitu banyak kenikmatan. Kondisi kita jauh lebih enak dibandingkan sebagian saudara kita yang jauh di sana. Mereka jauh dari majelis taklim dan jauh dari saudara seiman. Bahkan, tak jarang mereka dimusuhi. Sudah biasa, keimanan menjadi barang dagangan. Tidak percaya? Simak kisah nyata perjuangan dakwah teman-teman kita di Kampung Laut berikut ini.
Akhi fillah….
Titik dakwah di Kampung Laut ketika itu ada enam. Sebagai pusat koordinasi adalah Ujung Gagak. Daerah lainnya meliputi Ujuang Alang, Cikadim, Muara dua, Binangun, dan Selokjero. Masing-masing daerah memberikan kesan dan kenangan yang sayang untuk dilupakan. Sebuah kesan yang menjadi pelajaran untuk kita semua. Mari kita simak kisah tersebut!
***
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 12 jam, si ular besi berkaki seribu “Logawa” itu yang menggendong rombongan thullab Ma’had As-Salafy Jember secara perlahan menurunkan kecepatannya. Kereta ini dipastikan telah berhenti setelah kami mendengar seorang operator dengan lantangnya berkata di depan mik stasiun, “Selamat datang, perjalanan anda telah sampai di stasiun Kroya. Periksa barang bawaan anda jangan sampai ada yang tertinggal.”
Betul, kami lantas memeriksa semua barang bawaan kami. Jangan anda bayangkan barang yang kami bawa sebatas tas ransel dengan satu cangklong besar. Tetapi ada sekitar 40 kardus ditambah dua karung beras berisi rambutan sebagai bekal perjalanan. Duh, rasa-rasanya seperti mudik lebaran saja. Itupun sudah dikurangi satu kardus pisang yang ludes kami bagi-bagikan kepada penumpang lain. Ketika kami membagi-bagikan pisang perbekalan kami kepada penumpang lain, salah seorang penumpang menyeloroh, “Berapa mas harganya?” Dalam hati kami ketawa, dikiranya kami ini adalah pedagang asongan yang sedang menawarkan pisang. “Oh, enggak pak… Pisang ini gak dijual, silakan dinikmati saja!”
Perjalanan yang lumayan jauh, dan bagiku ini adalah perjalanan kereta api yang paling jauh yang biasanya aku hanya menempuh jarak Jogja-Jember. Sabtu sore menjelang malam, tepatnya tanggal 1 februari 2014, aku berhenti di stasiun Kroya lalu transit semalam di ma’had Mujur, merebahkan badan sembari memulihkan kekuatan, karena kami masih dalam separoh perjalanan.
Keesokan harinya, Ahad tanggal 2 Februari 2014 rombongan bergerak menuju stasiun Kroya untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju stasiun Banjar Patroman di Ciamis Jawa Barat. Jadi rute yang kami tempuh untuk menuju Kampung Laut adalah Jember – Kroya – Ciamis – Kampung laut. Tepat jam 10.17 stasiun Banjar Patroman sudah berada di depan mata. Ini adalah stasiun terakhir untuk bisa mencapai Kampung Laut via Ciamis.
Ada banyak hal yang bisa diceritakan ketika kami melakukan perjalanan ini. Suatu ketika kami ngobrol dengan penumpang lain dalam kereta. Di antara yang membuat hati kami terketuk adalah ketika ada seorang pria paroh baya, usianya sekitar 30 – 38 tahun, yang berdiskusi dengan kami. Dalam kesempatan itu kami menjelaskan tujuan keberangkatan kami ke Kampung Laut, bagaimana kondisi masyarakat yang membutuhkan siraman rohani, anak-anak yang haus terhadap tarbiyah islamiyah, dan pernak-pernik program pengiriman dai ke kampung laut.
Sejenak setelah mendengar penuturan kami, pria paruh baya itu langsung merogoh sakunya dan memberikan infak kepada kami. Tanpa ragu lima lembar kertas bergambar pak Karno itu disumbangkan oleh pria yang tidak kami kenal dan tidak mengenal kami sebelumnya. “Hanya ini mas yang bisa saya berikan,” ujarnya. Pertemuan dengan pria tersebut terhenti seiring dengan berhentinya si ular besi yang kami tumpangi. Semoga Allah membalas kebaikan pria ini.
Di stasiun ini, Banjar Patroman, kami menunggu jemputan dari ma’had an-Nur al-Atsary Ciamis. Sebelumnya, aku sudah kontek-kontekan dengan pak Malik, salah seorang ikhwan yang ditugasi untuk menjemput rombongan. Mungkin sekitar 10 menitan kami menunggu, mobil tua berwarna coklat dengan santun mendekat. Di dalamnya ada sosok seorang ikhwan yang dengan senyumnya memberi isyarat bahwa dialah yang akan menjemput kami.
Benar juga, begitu turun dari mobil, pria berjenggot itu segera mendatangiku dan menyalamiku. “Abu Abdillah?” katanya dengan nada bertanya. “Iya, pak Malik ini?” jawabku sambil membalas dengan pertanyaan. Setelah berbincang sebentar dan saling menanyakan kabar, datanglah mobil truk bak tertutup yang sudah dipotong separoh bagian atasnya. Kalau mau membayangkan bayangkan saja gerbong kereta batu bara. Bedanya truk ini beratap. Ternyata benar, truk bak tertutup ini dimodifikasi sebagai mobil pengangkut barang dan orang.
Pak Malik segera menyodori selembar kertas yang berisi jadwal kegiatan rombongan dai Ma’had as-Salafy Jember di Ciamis. Barang segera dinaikkan ke atas truk bersama rombongan. Ternyata truk tersebut tidak menampung semua rombongan. Sisanya masuk ke dalam mobil tua berwarna coklat. Berangkatlah rombongan menuju ma’had an-Nur al-Atsari Banjarsari Ciamis Jawa Barat.
Namun, aku dan satu orang ikhwan terpaksa naik angkot karena memang truk dan mobil tua berwarna coklat itu tidak muat. Kami berdua ditemani oleh salah seorang pelajar ma’had an-Nur al-Atsari. Sebut saja Saeful, nama pelajar tersebut. Santri kelahiran tahun 1993 itu dengan sabarnya menemani kami menunggu angkot yang akan mengantar ke ma’had. Bahasa Sunda yang digunakan Saeful rupa-rupanya berhasil menggambarkan kepada kami bahwa dia asli Ciamis. Namun ternyata, ia adalah pemuda bermarga jawas, Jawa Tengah Asli, tepatnya Klaten.
Setibanya di Ma’had an-Nur al-Atsary rombongan ma’had as-Salafy disambut dengan meriah oleh pengurus. Di antara hal yang membuat kami terharu adalah ketika salah seorang petugas dapur pondok yang bernama Abul Faruq tetap menyatakan untuk bertugas kendati saat itu adalah hari liburan ma’had. Beliau rela mengorbankan waktu liburnya untuk menjamu rombongan ma’had as-Salafy.
Dan pada hari Seninnya, Abul Faruq mengambil lauk untuk kami. Qaddarallah, beliau jatuh dari sepeda motor. Abul Faruq segera dilarikan ke puskesmas. Sebenarnya, tidak ada luka luar akibat kecelakan sepeda motor itu. Pertolongan segera diberikan kepadanya. Namun apa daya kekuatan manusia tak mampu membendung ketentuan dan ketetapan sang Penguasa.
Abul Faruq dipanggil oleh Allah setelah jatuh dari sepeda motor demi menjamu rombongan ma’had as-Salafy. Semoga Allah merahmati dan membalas kebaikan Abul Faruq serta memberikan kesabaran kepada keluarga yang ditinggal. Rombongan termasuk yang ikut menyalatkan jenazah dan mengiringinya ke kuburan.
Selebihnya, rombongan dai ma’had as-Salafy mendapatkan pengarahan dan pendeskripsian medan dakwah Kampung Laut. Perlu diketahui bahwa Ma’had an-Nur al-Atsary adalah pengampu dakwah di Kampung Laut. Sehingga seluruh dakwah di Kampung Laut di bawah koordinasi ma’had an-Nur al-Atsary.
Selanjutnya rombongan ma’had as-Salafy melakukan rapat koordinasi bersama penanggung jawab dakwah Kampung Laut, Ustadz Abu Abdi Rabbih. Kesimpulannya, bahwa para dai muda akan ditempatkan di enam titik dakwah; Ujung Gagak sebagai sentral, Ujung Alang, Solok Jero, Muara Dua, Binangun dan Cikadim.
Ketua rombongan, Ustadz Muh. Noer segera menggelar rapat konsolidasi membagi para dai ke masing-masing titik beserta koordinator masing-masing. Setelah ditentukan koordinator dan anggota masing-masing titik, perbekalan yang kita bawa segera kita bagi menjadi enam. Perbekalan dibagi di Ciamis karena ini adalah pertemuan terakhir sebelum kita berpisah di masing-masing titik dakwah.
Setelah dirasa cukup persiapan dan belanja perbekalan selesai maka ba’da Ashar hari Senin, berangkatlah rombongan dai Ma’had as-Salafy menuju Kampung laut via dermaga Majingklak. Truk dengan bak seperti gerbong kereta batu bara tapi beratap dengan setia membawa barang kami dan beberapa orang dari kami. Selebihnya naik mobil. Tercatat dua mobil yang mengantarkan kami ke dermaga. Barang yang kami bawa bertambah banyak karena kebutuhan logistik selama di Kampung laut kami beli di Jawa, sebab harga-harga di Kampung Laut melangit dan itupun terbatas.
Kali ini aku mendapatkan kehormatan untuk naik mobil tua berwarna coklat. Rombongan meluncur. Satu truk gerbong kereta batu bara, satu mobil lagi lumayan bagus dan mobil tua berwarna coklat. Kampung Laut yang hanya di benak, kini sebantar lagi akan kuinjak. Tak sabar saja rasanya ingin segera sampai di Kampung Laut itu. Namun aku berpikir bahwa aku harus bersabar sebab yang kunaiki adalah mobil tua berwarna coklat yang kali ini disopiri oleh Saeful Jawas.
Pikirku aku akan ditinggal oleh rombongan yang sedari tadi sudah melaju kencang di depan. Tapi tak disangka si Saeful Jawas itu tiba-tiba memacu mobil tua berwarna coklat sejadi-jadinya. Tiga mobil yang mengangkut para dai itu saling kejar-mengejar laksana mobil F-1 yang tampil di sirkuit. Truk gerbong kereta batu bara paling depan, satu mobil lagi di belakangnya, dan mobil tua berwarna coklat paling bontot. Seru, masing-masingnya melaju kencang seperti semangat kami yang menggebu-gebu untuk bisa segera mencapai Kampung Laut.
Tak disangka, mobil tua berwarna coklat dengan joki Saeful segera melaju dan melampaui dua mobil di depannya. Dugaanku terhadap mobil ini ternyata meleset. Aduhai, mobil tua berwarna coklat ini masih saja seperti inova. Terus melaju dan melesat, hingga di dermaga Majingklak kamilah yang juara. Tentu, karena pertolongan Allah kemudian mobil tua berwarna coklat bersama si Saeful.
Sungai Citandeuy segera membentang di mata kami. Lebar sungainya, deras arusnya dan coklat airnya. Jujur saja, sebagai orang gunung, baru kali ini aku melihat sungai seluas ini dengan puluhan perahu bersandar di bibirnya. Subhanallah, sebuah pemandangan menakjubkan. Setengah jam kemudian dua mobil kami yang lain akhirnya datang juga. Jarak kami terpaut lumayan jauh, memang mobil tua berwarna coklat dengan joki Saeful itu tak boleh diremehkan.
Di dermaga ini, berdirilah masjid besar nan megah dengan kubah coklat keemasan. Sayang, kemegahan masjid ini tak semegah jamaahnya. Menurut penuturan salah satu ikhwan, masjid ini sepi jamaah. Jangankan pengajian atau taklim, azan lima waktu saja jarang dikumandangkan, Allahul musta’an.
Dermaga Majingklak sebagai saksi atas perpisahan sebagian kami yang segera bertolak ke titik-titik dakwah. Wajar saja, karena untuk bertemu lagi antar kami merupakan sesuatu yang mahal lagi sulit. Antar titik harus ditempuh dengan perahu dengan biaya yang relatif tidak sedikit. Untuk komunikasi juga lumayan terbatas, karena di sebagian titik sinyal HP sulit ditemukan.
Berangkatlah dengan barakah dari Allah wahai teman, kami hanya bisa mendoakan. Itulah awal perpisahan kami, tepatnya pada Senin sore menjelang Maghrib. Dua perahu siap mengantarkan kami ke masing-masing titik dakwah….
Sebenarnya ada banyak hal yang bisa kami ungkap, namun kiranya di waktu lain kisah itu kami angkat. Yang jelas, Kampung Laut menyimpan sejuta cerita dan tentunya mereka membutuhkan kita semua. Nantikan kisah-kisah menarik dari dakwah di Kampung Laut.
***
Kami sengaja membawakan kisah di atas untuk memotivasi ulang. Sebab, tidak lama lagi, insya Allah, kami akan kembali mengukir sejarah di Kampung Laut. Bahkan, tidak hanya di Kampung Laut, ada banyak Kampung Laut lain yang akan kami jamah, bi idznillah, pada bulan Januari mendatang. Mari berpartisipasi! Ayo peduli!
Mereka adalah saudara . . .
Kita adalah bagian mereka . . .
Dan mereka adalah bagian kita . . .
Karena kita semua ibarat satu raga . . .
Mereka menanti uluran tangan kita . . .